REPUBLIKA.CO.ID, RABAT–Lebih dari 56 ribu orang dihentikan otoritas Maroko pada periode Januari hingga Agustus tahun ini karena mencoba perjalanan berbahaya melintasi Mediterania untuk mencapai Eropa.
Maroko mengklaim setidaknya 12 ribu pengungsi dilaporkan diselamatkan dari tenggelam dalam tindakan keras terhadap migrasi, kata kantor berita Turki Anadolu.
Dilansir dari The New Arab, Senin (14/11/2022), jumlah migran yang dicegat dari Januari hingga Agustus hampir lima kali lipat dari 12.231 yang dihentikan pada 2020.
Tahun itu, menurut Maroko, 150 jaringan perdagangan manusia dilumpuhkan. Perjalanan melintasi Mediterania dari Maroko, Tunisia, dan tempat lain di Afrika Utara sangat berbahaya, dan ratusan orang kehilangan nyawa dalam upaya itu.
Para migran, banyak dari mereka berasal dari Afrika sub-Sahara, melakukan pelayaran karena putus asa saat mereka mencoba membangun masa depan untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Yang lainnya melarikan diri dari perang dan penganiayaan politik.
Melilla dan Ceuta, wilayah Spanyol yang terletak di Afrika, merupakan kunci upaya untuk mencapai Eropa. Kantong-kantong itu dianggap ditempati Rabat.
Pada Juni, tragedi terjadi ketika setidaknya 23 migran kehilangan nyawa mereka saat ratusan orang menyerbu perbatasan darat antara Maroko dan Melilla.
Awal bulan ini, sekitar 300 orang ditahan oleh Maroko saat mencoba memasuki Ceuta.
Angka intersepsi migran Rabat muncul saat Inggris pada Ahad mengatakan lebih dari 40 ribu orang telah mencapai pantainya setelah berlayar di Selat Inggris. Ini adalah lonjakan tajam dari 28.561 orang yang melakukan penyeberangan pada 2021.
Sebelumnya sekitar 2.000 migran Afrika, kebanyakan asal Sudan, mencoba menyeberangi pagar perbatasan militer pada Jumat (24/6/2022) lalu.
Mereka kemudian diadang pasukan keamanan Spanyol dan Maroko yang melakukan aksi represif. Tindakan kekerasan menyebabkan 23 migran tewas.
Sementara organisasi Walking Borders mengklaim, sedikitnya 37 orang meninggal dalam kejadian tersebut.
Asosiasi Hak Asasi Manusia Maroko (AMDH) menerbitkan sebuah gambar yang menunjukkan pihak berwenang dari negara Afrika Utara itu menggali sekitar 20 kuburan. AMDH memprediksi kuburan itu dimaksudkan untuk para migran yang meninggal dalam kekacauan di perbatasan.
Sejumlah organisasi nonpemerintah telah merilis pernyataan bersama menuntut penyelidikan atas kejadian tersebut. AMDH pun secara khusus memohon agar jenazah para migran tak dikubur tanpa penyelidikan.
Sementara itu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez tak mengomentari tentang tewasnya puluhan migran di perbatasan negaranya dengan Maroko. Dia justru mengapresiasi kerja sama kedua negara di perbatasan. Menurutnya, upaya migrasi massal itu “diselesaikan dengan baik”.