REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Pejabat pemerintah Italia mengatakan negara itu meloloskan kebijakan yang memperpanjang masa penahanan imigran ilegal dan memastikan akan lebih banyak imigran ilegal yang akan direpatriasi. Italia kewalahan menghadapi lonjakan imigran yang datang dengan perahu.
Langkah ini diambil setelah hampir 10.000 migran tiba pulau Lampedusa di Italia selatan pekan lalu. Kedatangan mereka memberikan pukulan pada kredibilitas Perdana Menteri sayap kanan Giorgia Meloni yang memenangkan kursi pemerintahan tahun lalu dengan janji mengatasi masalah imigrasi ilegal.
Di awal rapat kabinet mengenai situasi imigran, Meloni mengatakan migran yang menunggu direpatriasi harus ditahan selama enam bulan, dan kemudian diperpanjang hingga 18 bulan. Masa tahanan imigran sebelum dipulangkan saat ini hanya tiga bulan.
"Ini waktu yang dibutuhkan tidak hanya untuk melakukan penilaian yang diperlukan, tetapi juga untuk melanjutkan pemulangan mereka yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan internasional," kata Meloni dalam pidato pembukaannya, Senin (18/9/2023).
Sumber pemerintah mengatakan kabinet menyetujui langkah tersebut. Kabinet juga setuju untuk membangun lebih banyak pusat penahanan imigran di daerah-daerah terpencil.
Meloni mengatakan Italia perlu meningkatkan kapasitas fasilitas-fasilitas tersebut yang dilemahkan "kebijakan imigrasi selama bertahun-tahun".
Di bawah hukum Italia, migran yang direpatriasi karena tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan suaka dapat ditahan jika mereka tidak dapat segera diusir. Para pejabat mengatakan sebagian besar migran pergi ke Italia karena alasan ekonomi dan karena itu tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan suaka.
Sebagian besar upaya-upaya untuk menahan para migran sebelumnya gagal. Sebab imigran yang ditahan berulang kali keluar dari pusat-pusat penampungan dan sering kali langsung menuju negara-negara Eropa utara yang lebih kaya.
Meloni mengunjungi Lampedusa dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Ahad (17/9/2023) lalu. Von der Leyen menjanjikan 10 rencana aksi Uni Eropa untuk mengatasi gelombang kedatangan imigran ilegal ke Italia.
Tetapi langkah-langkah terbaru tersebut menyerupai inisiatif sebelumnya yang gagal memberikan banyak dampak. Kesepakatan yang dicapai antara Uni Eropa dan Tunisia, tempat banyak migran memulai perjalanannya, pada Juli lalu belum berlaku.
Menurut data pemerintah Italia sepanjang tahun ini hampir 130.000 migran tiba di negara itu, hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun 2022.
Para migran tersebut berasal dari berbagai negara seperti Guinea, Pantai Gading, Tunisia, Mesir, Burkina Faso, Bangladesh, dan Pakistan. Langkah terbaru pemerintah untuk membendung arus migran ini dikecam oposisi dan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Koalisi Italia untuk Hak-hak Sipil dan Kebebasan (CILD) menggambarkan pusat-pusat penahanan tersebut sebagai "lubang hitam" di mana pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar terjadi. CILD menambahkan pusat-pusat penahanan tersebut mahal dan tidak efisien.
Pada bulan April lalu parlemen Italia menyetujui langkah-langkah untuk membangun fasilitas bagi imigran yang sedang menunggu hasil permohonan suakanya. Parlemen juga menyetujui pembangunan lebih banyak fasilitas penahanan bagi mereka yang akan direpatriasi.
Italia menyisihkan sekitar 20 juta euro atau 21,3 juta dolar AS untuk mendanai program tersebut selama dua tahun.