Jumat 16 Dec 2022 06:30 WIB

Militer Jepang Laporkan Seribu Kasus Pelecehan

Sekitar 84 persen pengaduan adalah tentang pelecehan kekuasaan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah Tentara Jepang berjalan usai melakukan terjun payung pada pembukaan Latihan Bersama (Latma) Super Garuda Shield di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Baturaja, Sumatera Selatan, Rabu (3/8/2022). Militer Jepang memecat lima prajurit dan menghukum empat lainnya dalam kasus pelecehan seksual yang diajukan oleh seorang mantan tentara, Kamis (15/12/2022).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah Tentara Jepang berjalan usai melakukan terjun payung pada pembukaan Latihan Bersama (Latma) Super Garuda Shield di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Baturaja, Sumatera Selatan, Rabu (3/8/2022). Militer Jepang memecat lima prajurit dan menghukum empat lainnya dalam kasus pelecehan seksual yang diajukan oleh seorang mantan tentara, Kamis (15/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Militer Jepang memecat lima prajurit dan menghukum empat lainnya dalam kasus pelecehan seksual yang diajukan oleh seorang mantan tentara, Kamis (15/12/2022). Kementerian Pertahanan Jepang menemukan lebih dari 1.000 keluhan pelecehan lainnya. 

Laporan itu mendorong penyelidikan yang jarang terjadi di Kementerian Pertahanan. Hasil awal dari penyelidikan pelecehan seksual di seluruh Kementerian Pertahanan akhirnya diluncurkan. 

Baca Juga

Kementerian Pertahanan menemukan terdapat 1.414 pengaduan. Sekitar 84 persen pengaduan adalah tentang pelecehan kekuasaan, sementara pelecehan seksual menyumbang 116 kasus atau 7,7 persen.

Berdasarkan organisasi, angkatan darat adalah yang paling rentan terhadap pelecehan dengan laporan sebanyak 822 kasus atau 58 persen. Kemudian diikuti angkatan laut dengan 279 kasus atau 19,7 persen dan angkatan udara sebesar 203 kasus atau 14,4 persen.

Laporkan ini bermula dengan keputusan Rina Gonoi mengajukan kasus pelecehan seksual ke Kementerian Pertahanan tahun lalu. Dia mengatakan, telah mengalami banyak serangan oleh beberapa rekan pria, menyebabkannya harus melepaskan secara terpaksa karir militernya. 

Dari lima prajurit yang diberhentikan dari kemiliteran, empat telah mengakui tindakan pelecehan seksual dan meminta maaf padanya pada Oktober. Sedangkan prajurit kelima ditemukan sebagai dalang dari empat anggota itu.

Selain itu, Kementerian Pertahanan menghukum empat orang lainnya. Komandan kompi di Fukushima yang saat itu menjadi tempat Gonoi bekerja mendapatkan hukuman diskors selama enam bulan. Dia dinilai tidak melakukan penyelidikan yang benar, sementara satu lagi ditegur karena pelecehan seksual verbal dan dua lainnya ditegur karena mengabaikan masalah tersebut.

Kepala Angkatan Darat Yoshihide Yoshida mengulangi permintaan maafnya kepada Gonoi. "Sebagai kepala organisasi ini, saya merasakan tanggung jawab yang kuat atas kesedihan dan rasa sakit (Gonoi)," ujarnya. 

Yoshida mengatakan, telah menangani masalah ini dengan serius. Dia pun mengaku bertekad untuk membasmi pelecehan seksual di area kemiliteran. 

Dalam satu insiden pada Agustus 2021, rekan pria senior menekan bagian bawah tubuh mereka ke arah Gonoi di asrama di tempat latihan. Mereka memaksanya melebarkan kakinya, sedangkan lebih dari 10 rekan pria lainnya menonton dan tertawa, tetapi tidak ada yang mencoba menghentikan perbuatan itu. 

"Saya berharap keempat penyerang, terlepas dari keseriusan hukuman mereka, dengan tulus bertanggung jawab," kata Gonoi sebagai tanggapan atas tindakan yang diambil oleh Kementerian Pertahanan.

Investigasi atas kasusnya dibatalkan pada Mei. Setelah Gonoi keluar dari kemiliteran dan mengungkapkan tuduhannya di media sosial. Dia pun mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 100 ribu orang menuntut Kementerian Pertahanan pada Agustus untuk menyelidiki ulang tuduhannya oleh pihak ketiga.

Gonoi juga mengatakan, telah menerima informasi tentang puluhan prajurit lain yang dilecehkan saat bertugas. Banyak dari orang tua juga yang mengkhawatirkan keselamatan putri mereka di militer.

Menurut Gonoi, keputusannya memberi tahu ke publik karena ingin membantu orang lain yang tidak bisa bersuara. Di negara di mana ketidaksetaraan gender terus berlanjut, pelecehan seksual sering diabaikan dan gerakan #MeToo lambat untuk diketahui karena masih banyak yang menderita secara diam-diam. 

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement