REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkapkan, sebanyak 6.884 warga sipil Ukraina tewas selama peperangan dengan Ukraina berlangsung. Sementara 10.947 warga lainnya mengalami luka-luka.
“Sebagian besar korban sipil yang tercatat disebabkan oleh penggunaan senjata peledak dengan efek area yang luas, termasuk penembakan dari artileri berat, sistem roket peluncuran ganda, rudal, dan serangan udara,” kata Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dalam sebuah pernyataan, Rabu (28/12/2022), dilaporkan Bloomberg.
PBB memperkirakan, jumlah korban tewas dan luka sebenarnya dari warga sipil Ukraina kemungkinan jauh lebih tinggi. Hal itu karena informasi korban dari daerah-daerah yang menghadapi pertempuran intens masih tertunda. Sementara banyak laporan lainnya masih menunggu pembuktian.
Wakil Menteri Dalam Negeri Ukraina Yevhen Yenin pada Selasa (27/12/2022) malam mengungkapkan, sekitar 700 infrastruktur vital di negaranya, termasuk pipa gas, gardu listrik, dan jembatan, telah rusak akibat serangan Rusia. Menurut Yenin, secara total, lebih dari 35 ribu fasilitas di seluruh Ukraina telah hancur akibat gempuran militer Rusia.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan, saat ini sekitar 18 juta warga Ukraina atau 40 persen dari populasi negara tersebut membutuhkan bantuan kemanusiaan. Mereka menyebut serangan terus menerus terhadap infrastruktur vital Ukraina telah memperburuk dampak perang bagi warga sipil terdampak.
Pada 25 Desember lalu atau tepat ketika perayaan Natal, Presiden Rusia Vladimir Putin kembali menyampaikan bahwa negaranya siap bernegosiasi dengan semua pihak yang terlibat untuk menghentikan konflik di Ukraina. Menurutnya, keputusan untuk berunding memang perlu diambil guna melindungi warga Rusia.
"Kami siap untuk bernegosiasi dengan semua orang yang terlibat tentang solusi yang dapat diterima, tetapi itu terserah mereka. Bukan kami yang menolak untuk bernegosiasi, mereka yang menolak," kata Putin dalam sebuah wawancara dengan televisi pemerintah Rusia.
Meski terkesan melunak, Putin yakin tawaran negosiasi adalah hal yang tepat. “Saya percaya bahwa kami bertindak ke arah yang benar, kami membela kepentingan nasional kami, kepentingan warga negara kami, rakyat kami. Dan kami tidak punya pilihan lain selain melindungi warga negara kami,” ucapnya.
Sehari setelah Putin menyampaikan hal itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, negaranya telah mengajukan ultimatum kepada Ukraina. Kiev diminta memenuhi tuntutan Moskow jika menginginkan pertempuran berakhir. Namun Lavrov menekankan, jika Kiev menolak mematuhi tuntutan Mosow, militer Rusia bakal meneruskan operasinya.