REPUBLIKA.CO.ID, JUBA– Bentrokan etnis di wilayah Sudan Selatan telah memaksa sekitar 30 ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka, kata badan tanggap darurat PBB pada Kamis (29/12/2022). Badan itu kemudian menuntut diakhirinya kekerasan di wilayah tersebut.
Pada 24 Desember lalu, orang-orang bersenjata dari negara bagian Jonglei, wilayah Timur yang dilanda kekerasan senjata menyerang masyarakat di sekitar Wilayah Administratif Pibor Besar, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dalam sebuah pernyataan.
Kekerasan itu menyusul bentrokan bulan lalu di ujung Utara Sudan Selatan yang menumbangkan ribuan orang di negara bagian Upper Nile.
“Rakyat sudah cukup menderita. Warga sipil, terutama yang paling rentan wanita, anak-anak, orang tua dan orang cacat menanggung beban krisis yang berkepanjangan ini,” kata Sara Beysolow Nyanti, koordinator kemanusiaan PBB di Sudan Selatan dilansir dari Arab News, Kamis (29/12/2022).
Sekitar 5.000 orang mencari perlindungan di kota Pibor, kata OCHA, seraya menambahkan bahwa respons kemanusiaan sangat berat. Bentrokan di negara bagian Upper Nile juga membuat penduduk desa mencari perlindungan di rawa-rawa untuk menghindari pertumpahan darah, di tengah laporan tentang warga sipil yang diperkosa, diculik atau dibunuh.
Mitra internasional termasuk Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sudan Selatan (UNMISS) dan blok IGAD regional, mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa mereka sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan.
Mereka meminta para pemimpin Sudan Selatan untuk turun tangan dan menekankan kebutuhan untuk menyelidiki dan meminta pertanggungjawaban semua pelaku konflik, termasuk mereka yang menghasut dan menghasut kekerasan.
Salah satu negara termiskin di planet ini meskipun memiliki cadangan minyak yang besar, kepemimpinan Sudan Selatan telah menghadapi kritik keras karena mengecewakan rakyatnya dan memicu kekerasan.
Kekuatan Barat termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatakan bulan ini bahwa para pemimpin Sudan Selatan memikul tanggung jawab atas bentrokan mematikan itu.
Sejak mencapai kemerdekaan dari Sudan pada tahun 2011, negara terbaru di dunia itu telah terhuyung-huyung dari satu krisis ke krisis lainnya, termasuk perang saudara selama lima tahun yang brutal antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan wakilnya Riek Machar yang menewaskan hampir 400 ribu orang.
Kesepakatan damai ditandatangani pada 2018 tetapi ledakan kekerasan sporadis antara pemerintah dan pasukan oposisi terus terjadi, sementara konflik antara kelompok etnis yang bersaing di bagian negara yang melanggar hukum menimbulkan korban yang sangat besar pada warga sipil.