REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Dua tahun setelah merebut kekuasaan dalam kudeta, para pemimpin militer Myanmar pada Rabu (1/2/2023) mengumumkan perpanjangan keadaan darurat negara selama enam bulan ke depan. Pengumuman ini kemungkinan akan menunda pemilihan umum (pemilu) yang telah dijanjikan oleh pemerintah militer digelar pada Agustus.
"Kekuasaan kedaulatan negara telah dipindahkan ke panglima tertinggi lagi," kata penjabat Presiden Myint Swe, mengacu pada pemimpin kudeta Min Aung Hlaing, dilaporkan Aljazirah.
Penyiar negara MRTV mengatakan, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional telah mengabulkan permintaan Min Aung Hlaing untuk memperpanjang keadaan darurat. Status keadaan darurat berlangsung sejak militer menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
"Militer Myanmar akan bekerja untuk mengadakan pemilihan. Pemerintah kami akan bekerja untuk mengadakan pemilu di setiap bagian negara sehingga rakyat tidak kehilangan hak demokrasinya," kata Min Aung Hlaing dikutip MRTV.
Pemungutan suara tidak dapat diadakan selama keadaan darurat. Kritikus mengatakan, rencana pemilu yang diusung oleh militer cenderung palsu, karena bertujuan memungkinkan militer untuk mempertahankan kekuasaan.
Kudeta militer memicu protes yang meluas dan kerusuhan sipil yang ditanggapi dengan kekerasan. Lebih dari 2.900 orang tewas dalam tindakan militer terhadap perbedaan pendapat sejak merebut kekuasaan dan lebih dari 18.000 telah ditangkap.
Pengumuman perpanjangan datang ketika jalan-jalan dikosongkan dan toko-toko tutup di seluruh Myanmar. Aksi ini sebagai bentuk protes pada peringatkan dua kudeta. Selain itu, Barat meluncurkan sanksi baru terhadap para jenderal militer Myanmar.
Jalan-jalan di pusat komersial Yangon sebagian besar sepi sejak Rabu pagi. Para aktivis menyerukan orang-orang di seluruh negeri untuk menutup bisnis dan tetap tinggal di dalam rumah. Jalan menuju pagoda Shwedagon yang terkenal dengan kuil Buddha dan biasanya padat, tampak sepi.
Sebagian besar bus di jalan lain di Yangon kosong dan ada pengamanan ketat. Situasi serupa juga terjadi di kota Mandalay. Foto-foto yang beredar media lokal menunjukkan jalan-jalan kosong di timur Kota Mawlamyine.
"Ada beberapa orang berjalan, tapi hampir tidak ada aktivitas di jalan utama," kata warga yang meminta namanya dirahasiakan.
Sekitar 200 pendukung militer melakukan long march melalui pusat kota bersejarah Yangon pada sore hari, dikawal oleh tentara. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yangon memperingatkan peningkatan aktivitas dan kekerasan anti-rezim pada hari-hari menjelang peringatan dua tahun kudeta.
Sekitar 400 pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Myanmar di Bangkok. Mereka meneriakkan slogan-slogan menentang militer dan memegang potret Aung San Suu Kyi.