REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan perdana menteri Israel Naftali Bennett menyatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin pernah berjanji padanya untuk tidak membunuh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Sebelum melepaskan jabatan, Bennett merupakan mediator pada awal perang Rusia dengan Ukraina.
Dalam wawancara lima jam yang menyentuh banyak topik, Bennett, mengatakan dia bertanya kepada Putin tentang apakah bermaksud membunuh Zelenskyy. “Saya bertanya 'ada apa dengan ini? Apakah Anda berencana untuk membunuh Zelenskyy?" Dia berkata, "Saya tidak akan membunuh Zelenskyy." Saya kemudian berkata kepadanya, "Saya harus mengerti bahwa Anda berjanji bahwa Anda tidak akan membunuh Zelenskyy." Dia berkata, "Saya 'Saya tidak akan membunuh Zelenskyy.'”
Bennett mengatakan, kemudian dia pun menelepon Zelenskyy untuk memberi tahu tentang janji Putin. "'Dengar, aku keluar dari rapat, dia tidak akan membunuhmu.' Dia bertanya, 'apakah kamu yakin?' Aku berkata '100 persen dia tidak akan membunuhmu.'" ujarnya.
Menurut Bennett, selama mediasinya dengan Putin, pemimpin Rusia itu membatalkan sumpahnya untuk mengusahakan perlucutan senjata Ukraina dan Zelenskyy berjanji untuk tidak bergabung dengan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Tidak ada tanggapan langsung dari Istana Kremlin atas pernyataan Bennett. Namun, sebelumnya Rusia membantah klaim Ukraina bahwa Rusia berniat membunuh Zelenskyy.
Menanggapi komentar Bennett dalam wawancaranya yang dilaporkan secara luas, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba menulis di Twitter Pada Ahad (5/2/2023), bahwa Putin tidak dapat dipercaya. “Jangan tertipu: Dia ahli pembohong. Setiap kali dia berjanji untuk tidak melakukan sesuatu, itu sudah menjadi bagian dari rencananya,” kata Kuleba tentang pemimpin Rusia itu.
Upaya mediasi Bennett memang tidak banyak membantu untuk mengakhiri pertumpahan darah yang berlanjut hingga hari ini. Namun pernyataannya menjelaskan diplomasi ruang belakang dan upaya mendesak yang sedang dilakukan untuk mencoba membawa konflik ke penyelesaian yang cepat di masa-masa awalnya.
Bennett menjabat sebagai perdana menteri Israel selama lebih dari enam bulan ketika perang pecah. Secara tak terduga, perang Ukraina mendorong dirinya ke dalam diplomasi internasional setelah dia menempatkan Israel di jalan tengah yang tidak nyaman antara Rusia dan Ukraina.
Israel memandang hubungan baik dengan Kremlin sebagai hal yang strategis dalam menghadapi ancaman dari Iran. Namun Israel bersekutu dengan negara-negara Barat dan juga berusaha menunjukkan dukungan untuk Ukraina.
Tapi upaya perdamaiannya tampaknya tidak berhasil dan masa kekuasaannya berumur pendek. Pemerintah Bennett yang terdiri dari persatuan ideologis yang mengirim Benjamin Netanyahu ke pengasingan politik singkat itu harus runtuh pada musim panas karena pertikaian. Bennett menjauh dari politik dan sekarang menjadi warga negara biasa.