REPUBLIKA.CO.ID, JANDARIS -- Ratusan orang bergerak di lapangan terbuka di Jandaris, barat laut Suriah. Mereka tampak bekerja keras, mengangkat, memanggil satu sama lain, dan membawa barang-barang.
Setelah diperiksa lebih dekat, kenyataan suram terungkap. Ladang itu adalah kuburan yang tidak banyak digunakan sebelum gempa dahsyat yang melanda Turki selatan dan Suriah barat laut pada 6 Februari.
Sekarang, itu telah menjadi situs kuburan massal, parit panjang digali untuk menampung ratusan orang yang meninggal dalam gempa dan akibatnya.
Orang-orang bergegas bolak-balik, menurunkan mayat yang terbungkus kain kafan atau kantong mayat dari truk. Mereka menyerahkannya kepada orang lain yang sedang menggali parit yang cukup besar untuk menampung 100 hingga 130 orang sehari.
Beberapa jenazah harus diangkat dan dibawa oleh dua orang. Banyak lainnya yang kecil, dipeluk oleh orang-orang dengan keterkejutan tertulis di seluruh wajah mereka saat mereka membawa bayi-bayi itu ke parit.
Jihad Ahmed al-Ibrahimi sedang mengumpulkan balok semen, membawanya untuk digunakan melapisi parit. Jenazah diletakkan di atas balok dan kemudian lempengan marmer diletakkan di atas jenazah sebelum parit diisi. Dia datang setiap hari, untuk secara sukarela membantu penguburan.
“Saya tinggal di kamp-kamp di Aazaz, saya dan keluarga saya mengungsi,” kata laki-laki berusia 21 tahun itu kepada Aljazirah.
Al-Ibrahimi dan keluarganya sudah tinggal di tenda, sehingga tidak mengalami banyak kerusakan akibat gempa. “Namun jujur saja, kami takut, itu menakutkan. Kemudian kami mulai berpikir betapa lebih menakutkannya bagi orang-orang yang tinggal di kota. Dan kami mulai mengkhawatirkan orang-orang kami di kota-kota karena kami tahu di sanalah sebagian besar kerusakan akan terjadi," ujarnya.
“Kami mendengar, kerusakan terparah terjadi di Jandaris, jadi, saya dan sekitar 30 atau 40 orang lainnya datang ke sini setiap pagi untuk menjadi sukarelawan dan membantu orang-orang di sini menguburkan jenazah mereka di pemakaman ini," kata Al-Ibrahimi.
Al-Ibrahimi mengatakan, orang-orang itu menggunakan mobil sendiri untuk melakukan perjalanan sejauh 40 km ke Jandaris di pagi hari dan kembali lagi ke Aazaz di malam hari. Perjalanan dan kegiatan itu bukan tugas yang mudah di wilayah dengan perang selama 12 tahun telah menghancurkan infrastruktur dan sumber daya, situasi yang hanya diperburuk oleh gempa bumi.
Nama-nama orang yang mati didokumentasikan, sebanyak mungkin, dan penanda kecil didirikan di dekat kuburan untuk menunjukkan nama mereka yang dimakamkan di sana. “Kami menguburkan jenazah dan melakukan salat jenazah. Kami di sini bukan untuk mendapatkan bayaran atau apa pun, kami melakukan ini untuk Tuhan," kata al-Ibrahimi.