Kamis 23 Feb 2023 02:33 WIB

Jumlah Imigran Masuk Prancis Alami Lonjakan Tajam

Para imigran meninggalkan negaranya akibat perang dan kemiskinan.

Menara Eiffel, ilustrasi. umlah imigran yang memasuki Prancis melonjak tajam sejak lebih dari dua puluh tahun.
Menara Eiffel, ilustrasi. umlah imigran yang memasuki Prancis melonjak tajam sejak lebih dari dua puluh tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Jumlah imigran yang memasuki Prancis melonjak tajam sejak lebih dari dua puluh tahun. Mereka meninggalkan negaranya akibat perang dan kemiskinan yang berusaha masuk negara tersebut untuk berkumpul dengan keluarga dan teman atau bekerja.

Kota Calais yang pelabuhannya berada di Selat Channel merupakan titik perbatasan terbaik dan menjadi simbol atas kesempatan hidup lebih baik. Para imigran ini seringkali tiba dalam keadaan lelah dan terlantar setelah mencoba sejumlah penyeberangan perbatasan, yang membahayakan nyawa mereka.

Baca Juga

"Aku mencoba (menyeberang) beberapa kali, sekitar 15 atau 20 kali. Banyak dari kami kehilangan kaki bahkan nyawa," kata seorang imigran dari Sudan kepada Anadolu Agency, Rabu (22/2/2023).

Akan tetapi lain halnya ketika perang Rusia-Ukraina terjadi, di saat diskriminasi atas penerimaan imigran terlihat, termasuk mempercepat permohonan suaka dan melakukan prosedur administrasi.

Hal pertama setelah tiba di Prancis adalah dimana prefektur Paris memastikan dokumen identitas membuktikan imigran tersebut dari Ukraina. Jika segalanya lancar, mereka segera mendapatkan izin tinggal sementara selama enam bulan yang dapat diperbarui selama tiga tahun.

Otorisasi merupakan permohonan nyata di Prancis di bawah instruksi Eropa tentang perlindungan sementara yang dibentuk pada 2001 dan diaktifkan pada 3 Maret 2022. Sistem perlindungan tersebut juga memberikan hak istimewa bagi para migran, termasuk hak untuk bekerja, dan mendapatkan jaminan kesehatan segera, sementara pencari suaka, sejak 2019, harus menunggu tiga bulan untuk mendapatkan manfaat dari Jaminan Sosial.

Ketika warga Afghan mengungsi dari Taliban pada Agustus 2021, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa Eropa tidak mampu menanggung konsekuensi situasi saat ini sendirian. "Kita harus mencegahnya dan melindungi negara kita atas arus imigrasi tak teratur yang signifikan," kata dia.

Enam tahun sebelumnya, saat krisis Suriah, sejumlah organisasi meminta Presiden Francois Hollande saat itu dan negara-negara Eropa untuk membantu dan berupaya memberikan perlindungan sementara, namun permintaan itu lenyap begitu saja.

Di Calais, situasi sangat sulit dan tidak manusiawi. Dalam sebuah kamp dengan jarak 30 menit dari pusat kota, seorang migran mengatakan bahwa disana tidak akan ditemukan warga Ukraina karena mereka tinggal dan tidur di rumah-rumah sementara para imigran ini harus menderita akibat dingin dan hujan dan menghangatkan diri dengan api di siang hari.

"Ketika kami membahayakan nyawa kami untuk kehidupan yang lebih baik, pemerintah menawarkan semua yang ada untuk membantu warga Ukraina," kata dia.

Sejak 2015, akses perumahan bagi migran menjadi salah satu yang diperjuangkan oleh organisasi. "Kami sebagai asosiasi tidak cemburu tetapi yang kami inginkan adalah kesetaraan bagi semua. Pemerintah membawa imigran sejauh 120 km dari Calais karena mereka tahu itu yang terdekat dengan perbatasan Inggris," kata Mariam, salah seorang relawan asosiasi Secour Catholique.

Mariam menambahkan bahwa salah seorang imigran mengatakan bahwa hewan hidup lebih baik dari mereka yang dianggap seperti sampah.

 

sumber : Antara/Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement