REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Korban keracunan massal misterius terhadap siswi sekolah menengah di Iran terus bertambah pada Rabu (1/3/2023). Kantor berita semi resmi Fars melaporkan, para siswi tersebut diduga diracun dengan semacam semprotan.
“Sebagai kelanjutan dari peracunan berantai terhadap siswa, sejumlah gadis sekolah menengah (di Teheran) diracuni,” ujar laporan Fars.
Kantor berita semi-resmi Tasnim pada Rabu juga melaporkan keracunan di tujuh sekolah berbeda di Kota Ardebil. Sebanyak 108 siswi dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
“Di sekolah-sekolah ini, para siswi mencium bau gas atau yang serupa,” kata Tasnim mengutip presiden Ilmu Kedokteran Universitas Ardebil.
Selama tiga bulan terakhir, ratusan kasus gangguan pernapasan telah dilaporkan di kalangan siswi sekolah menengah. Beberapa di antaranya memerlukan rawat inap.
Seorang anggota parlemen Iran mengatakan, sekitar 1.200 siswi telah diracuni dalam beberapa hari terakhir di dua kota berbeda. Anggota komite kesehatan parlemen Iran, Zahra Sheikhi, mengatakan kepada situs berita Khabar Online yang berbasis di Iran, pada 27 Februari sebanyak 799 kasus keracunan siswi telah dicatat di Kota Qom, dan hampir 400 kasus lainnya telah terjadi di Kota Boroujerd antara 21 Februari dan 27 Februari.
Polisi masih menyelidiki dugaan peracunan massal tersebut dan belum melakukan penangkapan. Pada Ahad (26/2/2023), seorang pejabat pemerintah mengatakan, serangan tersebut merupakan upaya yang disengaja untuk memaksa penutupan sekolah perempuan. Namun, dia kemudian mencabut pernyataannya.
Peracunan itu terjadi lebih dari lima bulan setelah protes nasional menyebar di seluruh Iran. Protes besar-besaran terjadi setelah wanita Kurdi Iran, Mahsa Amini meninggal dunia dalam tahanan pada September 2022. Amini di tangkap oleh polisi moralitas Iran karena tidak memakai jilbab yang sesuai aturan negara. Sejak saat itu, protes meluas menjadi tuntutan kepada rezim pemerintah untuk mundur.
Beberapa orang Iran, termasuk aktivis terkemuka mengatakan, peracunan itu didalangi oleh rezim pemerintah sebagai bentuk balas dendam terhadap perempuan karena berpartisipasi dalam protes. “Hari ini serangan kimia lainnya terhadap siswi di Teheran untuk membalas partisipasi dalam protes anti-wajib jilbab dan anti-rezim. Ini (adalah) terorisme biologis," tulis aktivis Iran-Amerika, Masih Alinjead di Twitter
Ulama Sunni paling terkemuka Iran yang sangat kritis terhadap rezim, Molavi Abdolhamid, mengatakan, peracunan adalah cara rezim untuk membalas tindakan kaum perempuan yang berpartisipasi dalam demonstrasi. Menurutnya peracunan itu adalah tindakan yang tidak manusiawi.
“Peracunan siswi di Qom dan Boroujerd adalah tindakan yang tidak manusiawi dan anti-Islam. Itu adalah balas dendam atas pemberontakan mereka baru-baru ini,” ujar Abdolhamid di Twitter.
Aktivis lain membandingkan antara mereka yang berada di balik peracunan di Iran dan kelompok ekstremis seperti Taliban di Afghanistan dan Boko Haram di Sahel. Keduanya telah menunjukkan penentangan terhadap pendidikan anak perempuan.