REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- POSCO Holdings Inc., Sebuah perusahaan produsen baja raksasa terkemuka di Korea Selatan, pada Senin (6/3/2023) memastikan akan secara aktif mempertimbangkan ikut berdonasi dalam mendukung rencana pemerintah Korea Selatan memberikan kompensasi kepada para korban mantan pekerja paksa saat negara itu di bawah pendudukan Jepang selama 1910-1945 .
Sebelumnya pemerintah Seoul mengusulkan kompensasi lebih dari selusin korban kerja paksa masa perang Jepang melalui yayasan publik yang didukung Seoul. Alih-alih menuntut pembayaran langsung dari perusahaan Jepang, kebijakan kompensasi ini justru ditanggung oleh Korsel sendiri.
Di bawah skema pemerintahan Yoon Suk Yeol, Yayasan Korban Mobilisasi Paksa, yang berafiliasi dengan kementerian dalam negeri, akan mengumpulkan sumbangan sukarela dari sektor swasta. Ia juga berencana untuk menggunakan yayasan, yang dibuat pada tahun 2014, untuk memberi kompensasi kepada mantan pekerja yang jadi penggugat lain setelah memenangkan kasus ganti rugi mereka yang tertunda.
Dilansir Yonhap, Pemerintah Korsel diperkirakan akan meminta sumbangan dari perusahaan raksasa Korea Selatan yang mendapat manfaat dari perjanjian bilateral tahun 1965, seperti pabrik pembuat baja POSCO, di mana Tokyo menawarkan hibah sebesar 300 juta dolar AS kepada Seoul.
Di bawah skema tersebutlah, Yayasan Korban Mobilisasi Paksa, yang berafiliasi dengan kementerian dalam negeri, akan mengumpulkan sumbangan sukarela dari sektor swasta. Pemerintah menekankan bahwa donasi akan bersifat sukarela, tetapi perusahaan Korea Selatan yang mendapat manfaat dari perjanjian bilateral tahun 1965 dengan Jepang, seperti pembuat baja POSCO, diharapkan untuk menggalang dukungan untuk skema tersebut.
Bersama dengan POSCO Holdings, Korea Electric Power Corp. (KEPCO) yang dikelola negara, pembuat tembakau KT&G dan 13 perusahaan Korea lainnya dianggap mendapat manfaat dari perjanjian tersebut.
Pada tahun 2012, POSCO juga telah berjanji untuk menyumbangkan 10 miliar won atau 7 juta dolar AS kepada yayasan tersebut. Sejauh ini, produsen pembuat baja telah itu menyumbang 6 miliar won.
Namun upaya pemerintah memberi kompensasi bagi korban mantan pekerja paksa era perang itu justru dikecam oleh sebagian warga Korsel dan mantan pelaku kerja paksa. Warga Korea Selatan yang dipaksa bekerja untuk perusahaan Jepang selama Perang Dunia II pada Selasa (7/3/2023), mengecam rencana itu dengan menyebut 'uang kotor' demi mengakhiri perselisihan bersejarah dengan Tokyo.
Seoul mengumumkan rencana pada Senin untuk membayar para korban dengan uang yang diambil dari perusahaan Korea Selatan yang diuntungkan dari kesepakatan pemulihan setelah tahun 1965, dalam upaya memutus luka perang yang telah menjadi lingkaran setan dalam hubungan Seoul dengan Tokyo.
Jepang dan Amerika Serikat segera menyambut baik rencana tersebut, yang tidak melibatkan permintaan maaf baru, dan hanya sebatas kontribusi sukarela dari perusahaan Jepang yang terlibat, seperti Mitsubishi dan Nippon Steel.
Tetapi kelompok korban mengatakan keinginan mereka untuk permintaan maaf penuh dari Jepang dan kompensasi langsung dari perusahaan yang terlibat, justru tidak terpenuhi.
"Saya berusia 95 tahun dan saya tidak tahu apakah saya mati hari ini atau besok. Tapi tidak pernah dalam hidup saya merasa begitu tertekan," kata Yang Geum-deok, yang bekerja di pabrik Mitsubishi selama perang Jepang, pada aksi yang digelar di Seoul.
"Bahkan jika saya mati kelaparan, saya tidak akan menerima uang kotor itu," teriaknya sambil melambaikan plakat bertuliskan: 'Mitsubishi harus meminta maaf dan memberikan kompensasi!'.
Seoul memilih kompensasi mandiri, bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang tersisa yang berasal dari pendudukan brutal Jepang pada tahun 1910-1945 di semenanjung Korea. Upaya ini langkah mencari harmonisasi yang lebih dekat dengan Tokyo dalam menghadapi ancaman yang meningkat dari Korea Utara.
Disebut sekitar 780 ribu warga Korea menjadi korban perang Jepang, sebagai pekerja paksa selama periode kolonial, menurut data dari Seoul. Jumlah itu tidak termasuk wanita Korea yang dipaksa menjadi budak seks oleh tentara Jepang.
"Orang Jepang yang menyeret kami. Kepada siapa kami meminta maaf?," kata korban Kim Sung-joo pada aksi demonstrasi yang juga dihadiri oleh politisi oposisi.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol membela rencana tersebut pada hari Selasa, dengan mengatakan bahwa hal itu penting untuk dilakukan demi kebebasan, perdamaian dan kemakmuran, tidak hanya secara bilateral tetapi juga secara global.
Kedua negara memulihkan hubungan diplomatik dengan penandatanganan perjanjian tahun 1965, yang mencakup paket perbaikan sekitar 800 juta dolar AS dalam bentuk hibah dan pinjaman murah.
Jepang telah lama bersikeras bahwa perjanjian tersebut telah menyelesaikan semua klaim yang berkaitan dengan masa kolonial. Tidak jelas apakah perusahaan Jepang akan memberikan kontribusinya. "Pemahaman perusahaan kami adalah bahwa masalah ini telah diselesaikan dengan perjanjian 1965," ujar Nippon Steel.