REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Jurnalis senior Arab Saudi yang juga mantan pemimpin redaksi Asharq Al-Awsat, Tariq Al-Homayed, menyampaikan pandangannya soal Saudi dan Iran yang kembali menjalin hubungan diplomatik melalui inisiatif Cina. Ini bukan pertama kali Saudi dan Iran kembali membangun hubungan.
"(Hubungan) kedua negara telah diputus untuk yang pertama kali pada April 1988 sebelum diputus lagi pada Januari 2016, karena serangan Iran terhadap kedutaan Saudi di Teheran," tulis Al-Homayed di laman Asharq Al-Awsat, Ahad (12/3/2023).
Dia menilai, hubungan diplomatik yang kembali dibangun oleh kedua negara sebetulnya hal yang normal. Sekalipun kedua negara memiliki beberapa perbedaan. Iran menggunakan pendekatan ekspansionis, yang bukan menjadi pendekatan Saudi.
Pernyataan yang disampaikan setelah hubungan kedua negara dilanjutkan, yakni menekankan pendekatan yang selalu diambil Arab Saudi, dalam hal ini ialah menghormati tetangga yang baik dan perjanjian internasional serta tidak mencampuri urusan orang lain. Contoh paling sederhana adalah pengaktifan kembali perjanjian kerjasama keamanan.
Perjanjian tersebut ditandatangani pada 2001, dikenal sebagai Perjanjian Nayef-Rouhani. Nama ini merujuk pada Pangeran Nayef bin Abdulaziz dan Hassan Rouhani. Maka, ini menegaskan konsistensi pendekatan Arab Saudi dan ketidakpatuhan Iran. Hubungan Saudi-Iran pernah dibangun kembali pada periode sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan Hashemi Rafsanjani dan kemudian Mohammad Khatami.
Lalu apakah akan perubahan sebagai imbas dari kembalinya hubungan diplomatik kedua negara? Faktanya adalah, Arab Saudi tidak berubah. Apa yang telah berubah adalah rezim Iran sedang mengalami krisis eksistensial.
"Namun, siapa pun yang percaya bahwa Riyadh telah melemparkan garis hidup Teheran saat ini adalah keliru, karena krisis Iran adalah buatan rezim, dan krisis Iran murni bersifat domestik," jelas Al-Homayed.
Dia juga melihat adanya krisis eksternal Iran yang lebih rumit, yang ditimbulkan oleh program nuklir Iran. Dalam hal ini Suaid tidak ikut campur. Menurut Al-Homayed, Saudi tidak akan terlibat jika Iran diserang oleh Amerika Serikat atau Israel.
"Situasi di kawasan menunjukkan kepada kita bahwa Arab Saudi kini berada dalam posisi yang jauh lebih kuat, baik secara ekonomi maupun politik. Sementara itu, Iran dihadapkan pada krisis internal dan eksternal. Riyadh tidak ingin terlibat dalam krisis ini, dan ingin hubungan regional dibangun di atas kerja sama, bukan konfrontasi," paparnya.
Karena itu, Al-Homayed berpendapat, terbuka peluang bagi Saudi yang mengerjakan pembangunan siang malam, dan Iran yang skeptis terhadap segala bentuk kemajuan. Meski Teheran tidak pernah berkomitmen untuk mencapai kesepakatan, begitu pun Arab Saudi, tetapi ada China yang terlibat di dalamnya.
China adalah penjamin perjanjian ini. Artinya akan ada konsekuensi jika Teheran tidak mematuhinya. Hal ini tentu mengganggu Washington dan Eropa. Namun Washington dan Barat belum serius dengan keamanan kawasan sejak menyepakati perjanjian nuklir Iran pada 2015.
"Jadi, Arab Saudi telah bekerja untuk memajukan kepentingannya, mengkalibrasi ulang posisi politiknya agar tidak menjadi pihak dalam konflik apa pun dan mengabdikan dirinya untuk pembangunan. Apakah Riyadh telah berubah? Tidak, itu berlanjut dengan pendekatan yang masuk akal yang didasarkan pada dialog. Apakah Iran jujur? Sejarah mengatakan: tidak," tulis Al-Homayed.
Lantas apakah keputusan Saudi untuk membangun kembali hubungan dengan Iran terlalu cepat? Dia mengataan, tidak sedikitpun. Sebab, mengambil pendekatan yang masuk akal dan meredakan ketegangan selalu menjadi pendekatan Saudi.
"Pada akhirnya, apakah wilayah tersebut akan berubah? Kami berharap demikian, tetapi pertanyaan tentang program nuklir Iran lebih besar dari yang kami bayangkan," kata Al-Homayed.