Selasa 14 Mar 2023 11:30 WIB

Parlemen Tunisia Bersidang untuk Pertama Kalinya Sejak 2021

Presiden Kais Saied menangguhkan parlemen sebelumnya pada Juli 2021.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
File foto aparat keamanan Tunisia berjaga usai Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan membubarkan pemerintahan pada 25 Juli 2021. Parlemen baru Tunisia bersidang kembali untuk pertama kalinya pada Senin (13/3/2023).
Foto: EPA
File foto aparat keamanan Tunisia berjaga usai Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan membubarkan pemerintahan pada 25 Juli 2021. Parlemen baru Tunisia bersidang kembali untuk pertama kalinya pada Senin (13/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Parlemen baru Tunisia bersidang kembali untuk pertama kalinya sejak 2021. Berbagai pergolakan politik di Tunisia membuat presiden membekukan fungsi badan legislatif tersebut dengan menutup parlemen.

Namun demikian, kelompok koalisi oposisi utama pemerintah Tunisia, menyatakan tidak akan mengakui parlemen baru tersebut. Sebab anggotanya dipilih oleh pemerintah berkuasa, pada Desember dan Januari lalu, dalam pemilihan yang diboikot oleh pihak oposisi dan diabaikan oleh publik. Hanya 11 persen pemilih yang memberikan hak suaranya untuk memilih perwakilan mereka di parlemen.

Baca Juga

Selama sesi pengukuhan Anggota Parlemen pada Senin (13/3/2023), para anggota parlemen akan memilih ketua parlemen baru untuk menggantikan pemimpin gerakan Islam Ennahdha, Rached Ghannouchi, yang partainya memilih tidak berpartisipasi, padahal memiliki jumlah anggota terbesar di parlemen sebelumnya.

Tidak seperti biasanya, hanya wartawan dari lembaga penyiaran negara dan kantor berita resmi negara yang diizinkan masuk ke dalam parlemen untuk sesi pembukaan sidang parlemen. Sementara puluhan wartawan melakukan protes di luar.

Sesi pembukaan sidang itu dilakukan di tengah meningkatnya tindakan keras terhadap oposisi Islamis dan media independen serta suara-suara yang tidak setuju atas pemerintah Tunisia, dan terhadap para migran dari sub-Sahara Afrika.

Presiden Kais Saied menangguhkan parlemen sebelumnya pada Juli 2021. Penangguhan parlemen ini disebut sebagai upaya untuk menyelamatkan negara. Saied dan banyak orang Tunisia pada saat itu menyalahkan para legislator Islam atas krisis ekonomi dan sosial di negara itu.

Sejak saat itu, Saied telah membuat undang-undang dengan dekrit dan terus berpolitik untuk mengumpulkan lebih banyak kekuasaan. Hal itu justru menimbulkan kekhawatiran internasional, karena Tunisia adalah tempat kelahiran pemberontakan Arab Spring, yang berlangsung satu dekade lalu.

Dan Tunisia satu-satunya negara yang berhasil muncul dengan sistem demokrasi baru. Legislatif baru memiliki kekuatan yang lebih kecil dari pendahulunya, menurut konstitusi baru yang didorong oleh Saied dalam sebuah referendum. Itu dimaksudkan untuk memiliki 161 anggota, dibandingkan dengan 217 anggota dalam sistem parlemen sebelumnya.

Tetapi sayangnya, hanya 154 kandidat yang terpilih dalam pemungutan suara legislatif dua putaran. Karena tidak ada kandidat yang mau mencalonkan diri di tujuh daerah pemilihan yang mewakili warga Tunisia di luar negeri, yang mencerminkan kekecewaan yang meluas terhadap kelas politik.

Sebagian besar partai politik memboikot pemilu, mengingat proses pemilu yang digagas Saied dirancang untuk mengukuhkan kekuasaannya atas negara. Koalisi oposisi utama, National Salvation Front, mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Ahad, mereka tidak mengakui parlemen baru tersebut.

“Yang dihasilkan dari konstitusi yang tidak sah dan pemilihan umum yang diboikot oleh mayoritas besar."

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement