Kamis 16 Mar 2023 11:09 WIB

Ekspansi Pertahanan Jepang Terbentur Kesiapan Industri

Jepang meluncurkan ekspansi militer lima tahun senilai 315 miliar dolar AS

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Jepang Perkuat Militer Besar-besaran
Foto: Japan Times/BBC
Jepang Perkuat Militer Besar-besaran

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang memiliki ambisi untuk melakukan ekspansi militer terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Pada 2022, Jepang meluncurkan ekspansi militer lima tahun senilai 315 miliar dolar AS untuk mencegah peningkatan kehadiran militer Beijing di Laut Cina Timur.

Tetapi bagian penting dari strategi perluasan pertahanan Jepang bergantung pada upaya untuk meyakinkan perusahaan komersial seperti Toshiba Corp, Mitsubishi Electric Corp, dan Daikin Industries untuk  menggenjot produksi. Ketiga perusahaan ini selama beberapa dekade diam-diam mempersenjatai Pasukan Bela Diri (SDF).

Baca Juga

Seorang pejabat yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, dalam pertemuan pribadi antara perusahaan dan Kementerian Pertahanan selama setahun terakhir, beberapa perusahaan telah mengemukakan kekhawatiran untuk meningkatkan produksi senjata. Beberapa kekhawatiran yang diungkapkan antara lain margin keuntungan yang rendah, risiko keuangan membangun pabrik yang dapat dibiarkan menganggur setelah Jepang menyelesaikan ekspansi militernya, dan potensi kerusakan citra publik mereka dari penjualan senjata.

Pemerintah sedang mempersiapkan undang-undang yang mencakup peningkatan margin keuntungan peralatan militer menjadi 15 persen, dan penyediaan pabrik milik negara yang dapat digunakan perusahaan untuk memperluas produksi tanpa risiko.  

"Sampai sekarang, kementerian (pertahanan) menganggap remeh perusahaan pertahanan," kata Masahisa Sato, seorang anggota parlemen dari partai berkuasa yang berpengaruh dan mantan wakil menteri pertahanan.

Sato mengatakan, semakin sulit bagi eksekutif Jepang untuk membenarkan penjualan pertahanan dengan alasan tugas patriotik kepada pemegang saham yang berfokus pada usaha sipil yang lebih menguntungkan. Perdana Menteri Fumio Kishida mengidentifikasi manufaktur pertahanan sebagai pilar utama keamanan nasional.

Jepang tidak memiliki pionir perusahaan pertahanan nasional seperti Lockheed Martin Corp di Amerika Serikat atau BAE Systems PLC Inggris. Perusahaan pertahanan terbesar Jepang, Mitsubishi Heavy Industries, kontrak militer hanya menyumbang sepersepuluh dari total pendapatan 29 miliar dolar AS tahun lalu. Perusahaan ini mengembangkan jet tempur Jepang generasi berikutnya dan rudal jarak jauh baru untuk membantu menghalangi Cina. Namun sebagian besar bisnisnya adalah komponen pesawat sipil, peralatan pembangkit listrik, dan mesin pabrik.

Pabrikan AC Daikin memiliki bisnis sampingan memproduksi amunisi. Sementara Toshiba, yang dikenal sebagai produsen barang elektronik juga memproduksi baterai sekelas militer, dan produsen elektronik lainnya, yaitu Mitsubishi Electric membuat radar dan rudal.

Sejak awal tahun lalu, pejabat pertahanan telah bertemu dengan perusahaan elektronik tersebut dan pemasok utama lainnya, seperti pembuat mobil dan helikopter Subaru Corp, untuk mendesak mereka memperluas unit militer. Reuters menghubungi 15 produsen pertahanan terkemuka Jepang, yang telah melakukan pertemuan dengan mantan menteri pertahanan Nobuo Kishi pada  April 2022, dan Menteri Pertahanan yang baru Yasukazu Hamada.

Tiga di antaranya, Mitsubishi Heavy, Mitsubishi Electric dan IHI Corp mengonfirmasi bahwa mereka juga telah mengambil bagian dalam diskusi tingkat rendah lainnya. Lima firma tidak menjawab, dan sisanya menolak mengatakan apakah mereka telah bergabung dalam diskusi dengan Kementerian Pertahanan.

Banyak perusahaan enggan berbicara tentang unit pertahanan mereka karena khawatir hal itu akan berdampak pada pelanggan di dalam negeri, karena sentimen anti-militer. Pembicaraan mengenai unit pertahanan di perusahaan juga dapat berdampak di luar negeri, terutama di Cina karena kebencian atas masa perang Jepang dapat dipolitisasi.

Kepala Divisi Sistem Pertahanan Mitsubishi Electric, Masahiko Arai,  mengatakan dia menyambut baik proposal pemerintah. Dia berharap berkontribusi pada keselamatan dan keamanan Jepang akan bermanfaat bagi perusahaan.

Namun Kekhawatiran terbesar Arai adalah apa yang akan terjadi setelah pembangunan militer lima tahun Jepang berakhir. Dia menambahkan bahwa perusahaan lain terganggu oleh risiko reputasi. Unit pertahanan Mitsubishi Electric menyumbang sekitar 4 persen dari 34 miliar dolar AS penjualan yang dicatat perusahaan pada tahun bisnis terakhir. Sementara seorang pejabat pemasok pertahanan utama Jepang lainnya yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, terlibat langsung dengan ketegangan regional mungkin berdampak buruk bagi bisnis.

"Risiko reputasi sangat mengkhawatirkan kami. Ada saat-saat ketika pelanggan Cina mengungkapkan ketidaknyamanan mereka ketika topik pertahanan muncul," ujar pejabat itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement