REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Khadeer Khan ditangkap di kota Hyderabad di India selatan pada Januari. Penahanan dilakukan setelah polisi mengklaim telah mengidentifikasinya melalui rekaman CCTV sebagai tersangka dalam insiden penjambretan berantai.
Khan akhirnya dibebaskan beberapa hari kemudian. Namun dia meninggal saat dirawat karena luka yang diduga didapat saat dalam tahanan.
Polisi mengatakan, Khan ditangkap karena dia terlihat seperti pria yang terlihat di rekaman CCTV. “Ketika dikesampingkan bahwa Khadeer bukanlah pelaku kejahatan, dia dibebaskan. Semua berjalan sesuai prosedur,” kata Wakil Inspektur Kepolisian K Saidulu.
Tapi aktivis hak asasi manusia (HAM) mengatakan, pria berusia 36 tahun itu jelas salah diidentifikasi. Risiko ini meningkat dengan meluasnya penggunaan CCTV di negara bagian Telangana, yang memiliki konsentrasi teknologi pengawasan tertinggi di negara itu.
"Kami telah memperingatkan selama bertahun-tahun bahwa CCTV dan teknologi pengenalan wajah dapat disalahgunakan untuk pelecehan, dan mereka dapat salah mengidentifikasi orang,” kata aktivis HAM SQ Masood.
Masood mengajukan gugatan pada 2021 tentang penggunaan teknologi pengenalan wajah di Telangana yang masih berlangsung. “Kasus ini mengungkap betapa berbahayanya hal itu,” katanya.
Penggunaan CCTV dan pengenalan wajah meningkat di sekolah, bandara, stasiun kereta api, penjara, dan jalan-jalan seluruh India. Pihak berwenang meluncurkan sistem nasional untuk mengekang kejahatan dan mengidentifikasi anak-anak yang hilang.
Fitur itu bukan satu-satunya bentuk pengawasan di negara ini. Identitas nasional biometrik Aadhaar, dengan sekitar 1,3 miliar identitas yang diterbitkan, terkait dengan lusinan database termasuk rekening bank, STNK, kartu SIM, dan daftar pemilih. Sementara Jaringan Intelijen Nasional bertujuan untuk menghubungkan hampir dua lusin database lembaga pemerintah untuk profil warga negara.
Srinivas Kodali di Free Software Movement of India melihat tujuan Aadhaar adalah untuk melacak semua orang dari lahir sampai mati. "Apa pun yang terkait dengan Aadhaar pada akhirnya berakhir dengan kementerian dalam negeri, dan lembaga kepolisian dan pengawasan, sehingga perbedaan pendapat terhadap pemerintah menjadi sangat sulit,” ujarnya.
Sementara itu, pemantauan internet juga telah berkembang, dengan pengawasan media sosial yang lebih besar dan penutupan Internet yang paling sering terjadi di dunia. Pihak berwenang mengatakan, tindakan itu diperlukan untuk meningkatkan tata kelola dan meningkatkan keamanan di negara yang sangat kekurangan pengawasan.
Tapi pakar teknologi mengatakan, ada sedikit korelasi dengan kejahatan karena tindakan itu nyatanya melanggar privasi dan menargetkan orang-orang yang rentan. “Semuanya didigitalkan, jadi ada banyak informasi tentang seseorang yang dihasilkan yang dapat diakses oleh pemerintah dan entitas swasta tanpa perlindungan yang memadai,” kata penasihat hukum di kelompok advokasi Internet Freedom Foundation Anushka Jain.
“Pada saat orang-orang diserang karena agama, bahasa, dan identitas seksual mereka, ketersediaan data ini dengan mudah bisa sangat berbahaya. Ini juga dapat mengakibatkan individu kehilangan akses ke skema kesejahteraan, transportasi umum atau hak untuk memprotes kapan pun pemerintah menganggap perlu," kata Jain.
Iterasi digitalisasi terbaru adalah Digi Yatra yang diluncurkan di bandara Delhi, Bengaluru, dan Varanasi pada Desember. Fitur ini memungkinkan penumpang untuk menggunakan Identitas Aadhaar dan pengenalan wajah untuk check-in di bandara.
Kementerian Penerbangan Sipil mengatakan Digi Yatra mengarah pada mengurangi waktu tunggu dan membuat proses boarding lebih cepat dan mulus. Terdapat jalur khusus bagi mereka yang menggunakan aplikasi tersebut.
Tapi, menurut Kodali, orang yang memilih untuk tidak menggunakan Digi Yatra dapat dipandang dengan kecurigaan dan harus menjalani pemeriksaan tambahan.
Data termasuk detail perjalanan juga dapat dibagikan dengan lembaga pemerintah lainnya. Kondisi ini dinilai dapat digunakan untuk memasukkan orang ke dalam daftar larangan terbang, dan menghentikan aktivis, jurnalis, dan pembangkang untuk bepergian, seperti yang sudah terjadi.