REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Militer Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) masih saling menyerang di hari kedua pada Ahad (16/4/2023). Perhimpunan dokter Sudan menyatakan pada Senin (17/4/2023), sedikitnya 41 warga sipil meninggal pada hari kedua serangan, sehingga jumlah korban jiwa dalam dua hari mencapai 97 orang.
Ratusan orang terluka sejak pertempuran dimulai Sabtu (15/4/2023). Selain itu, puluhan pejuang RSF telah tewas.
Utusan PBB untuk Sudan Volker Perthes mengatakan, bahwa baik militer dan RSF menyetujui jeda kemanusiaan selama tiga jam dalam pertempuran pada Ahad sore. Namun jeda itu dihiraukan dan kekerasan terus melanda ibu kota.
Saat malam tiba, penduduk melaporkan ledakan hebat dan tembakan lanjutan, serta serangan udara yang menghantam sasaran RSF. Pertempuran berkecamuk di sekitar markas militer sepanjang hari.
“Ledakan hebat dan tembakan sepanjang waktu. Pertempuran di sini (di ibu kota) tidak pernah berhenti," kata Amany Sayed, seorang warga Khartoum berusia 38 tahun.
Pertempuran sengit yang melibatkan kendaraan lapis baja, senapan mesin yang dipasang di truk, dan pesawat perang berkecamuk di ibu kota Khartoum, kota Omdurman yang bersebelahan, dan di berbagai titik nyala di seluruh negeri.
Bentrokan tersebut merupakan bagian dari perebutan kekuasaan antara Komandan Militer Jenderal Abdel-Fattah Burhan dengan Kepala Kelompok RSF Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo. Kedua jenderal tersebut adalah mantan sekutu yang bersama-sama mengatur kudeta militer Oktober 2021 yang menggagalkan transisi singkat Sudan menuju demokrasi.
Dalam beberapa bulan terakhir, negosiasi yang didukung secara internasional menghidupkan kembali harapan untuk transisi. Namun ketegangan yang meningkat antara Burhan dan Dagalo akhirnya menunda kesepakatan dengan partai politik.