REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Sebuah konvoi diplomatik Amerika Serikat (AS) menjadi sasaran penembakan di Sudan, Senin (17/4/2023). Tak ada korban jiwa maupun luka dalam kejadian tersebut.
“Saya dapat memastikan bahwa kemarin kami memiliki konvoi diplomatik Amerika yang ditembaki. Semua orang kami aman dan tidak terluka,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken kepada awak media setelah menghadiri pertemuan para menlu G7 di Karuizawa, Jepang, Selasa (18/4/2023).
Blinken mengecam aksi penembakan tersebut konvoi diplomatik AS tersebut. “Tindakan ini sembrono, tidak bertanggung jawab, dan tentu saja tidak aman,” ucapnya.
Blinken tak menjelaskan siapa pihak yang kemungkinan bertanggung jawab atas aksi penembakan tersebut. Pada Senin lalu, Duta Besar Uni Eropa untuk Sudan Aidan O’Hara juga diserang saat berada di kediamannya. “Beberapa jam lalu, Duta Besar Uni Eropa di Sudan diserang di kediamannya sendiri,” tulis kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell lewat akun Twitter resminya.
Borrell menegaskan, serangan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Wina. “Keamanan tempat dan staf diplomatik adalah tanggung jawab utama otoritas Sudan serta kewajiban di bawah hukum internasional,” katanya.
Sementara itu juru bicara Uni Eropa Nabila Massrali mengungkapkan, kondisi Aidan O’Hara baik-baik saja pasca penyerangan ke kediamannya. “Keamanan staf adalah prioritas kami. Delegasi Uni Eropa belum dievakuasi. Langkah-langkah keamanan sedang dimulai,” ucap Massrali.
Saat ini Sudan tengah dibekap pertempuran antara militer dan kelompok paramiliter bernama Rapid Support Forces (RSF). Pertempuran antara kedua belah pihak itu pecah pada Sabtu (15/4/2023) pekan lalu.
Utusan PBB untuk Sudan Volker Perthes mengatakan, hingga Senin lalu, pertempuran antara militer dan RSF telah menewaskan sedikitnya 185 orang dan melukai lebih dari 1.800 lainnya. Pertempuran masih berlangsung di beberapa daerah Sudan, termasuk di ibu kota Khartoum.
Pertempuran antara militer dan RSF berlangsung ketika Sudan tengah berusaha melakukan transisi politik pasca ditumbangkannya rezim mantan presiden Omar al-Bashir pada 2019.