REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Dua faksi yang bertikai di Sudan yaitu militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada Kamis (27/4/2023) sepakat akan memperpanjang perjanjian gencatan senjata selama 72 jam. Tetapi, kendati ada kesepakatan kekerasan kembali mengguncang Ibu Kota Khartoum dan wilayah barat Darfur.
Ratusan orang telah tewas dan puluhan ribu orang melarikan diri dalam konflik yang sudah berlangsung selama dua pekan. Sebelumnya, militer dan RSF bersama-sama menggulingkan pemerintah sipil dalam kudeta Oktober 2021.
Tetapi sekarang keduanya terkunci dalam perebutan kekuasaan yang telah menggagalkan transisi menuju demokrasi yang didukung internasional.
Militer pada Rabu (26/4/2023) menyetujui perpanjangan gencatan senjata selama tiga hari ke depan. Perpanjangan ini untuk memperbarui gencatan senjata sebelumnya yang berakhir pada Kamis (27/4/2023) malam.
Pada Kamis, militer menegaskan akan memperpanjang gencatan senjata. Sementara RSF juga menyetujui gencatan senjata 72 jam yang dimulai Jumat (28/4/2023). Berita mengenai gencatan senjata ini disambut baik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, blok perdagangan Afrika IGAD dan kelompok empat negara terdiri dari AS, Inggris, Arab Saudi, dan UEA.
"Kami juga menyambut kesiapan mereka untuk terlibat dalam dialog menuju penghentian permusuhan dan memastikan akses kemanusiaan tanpa hambatan," kata kelompok empat negara dalam pernyataan bersama.
Tentara mengatakan, mereka mengendalikan sebagian besar wilayah Sudan dan mengalahkan penyebaran besar RSF di Khartoum. Kendati ada jeda pertempuran sejak gencatan senjata 72 jam pertama dimulai, serangan udara dan tembakan anti-pesawat terdengar pada Kamis di ibu kota dan kota-kota terdekat yaitu Kota Omdurman dan Kota Bahri.
Sedikitnya 512 orang tewas dan hampir 4.200 terluka akibat pertempuran yang berlangsung sejak 15 April. Kelompok hak asasi manusia, Asosiasi Darfur Bar mengatakan, sedikitnya 52 orang tewas dalam serangan oleh milisi bersenjata lengkap di lingkungan perumahan di Kota El Geneina.
Milisi dari suku Arab nomaden memasuki El Geneina saat pertempuran antara RSF dan tentara menciptakan kekosongan keamanan dalam beberapa hari terakhir. Mereka bertemu dengan anggota bersenjata suku Masalit, sehingga muncul bentrokan yang meluas ke seluruh kota, dan menyebabkan gelombang pengungsian baru.
El Geneina, kota paling barat di Sudan, telah berulang kali menjadi tempat konflik suku dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menyebabkan orang-orang terusir dari rumah mereka berkali-kali.