REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berusaha untuk memperpanjang kekuasaannya selama lima tahun mendatang dalam pemilihan presiden. Namun, gempa bumi pada Februari di Turki dan Suriah menambah tekanan pada Erdogan untuk kembali menjadi presiden.
Banyak orang mengkritik lambatnya tanggapan pemerintah terhadap gempa, dan kegagalan pemerintah menegakkan peraturan bangunan.
“Dia (Erdogan) harus pergi. Rezim satu orang membantu menciptakan bencana ini," kata Furkan Ozbilgin (29 tahun) seorang warga Kota Antakya yang paling parah terkena gempa dan kubu oposisi.
“Melalui aturannya, kontraktor diizinkan untuk membangun gedung-gedung yang begitu buruk yang runtuh, menewaskan ribuan orang,” kata Ozbilgin menambahkan, dilaporkan Aljazirah, Sabtu (13/5/2023).
Di sisi lain, pendukung Erdogan berpendapat bahwa dia telah berhasil mengatasi masalah Turki. Seorang penjaga toko di distrik Fatih yang konservatif di Istanbul, Ahmet Gokkaya mengatakan, dia melihat Erdogan sebagai orang yang mengatasi masalah Turki saat ini.
“Tentu saja, selama 20 tahun, akan ada periode buruk dan juga baik. Presiden kita tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas bencana gempa. Apakah dia mengontrol setiap situs bangunan di Turki? Kami telah melihat apa yang dia lakukan untuk negara ini, dan kami tidak boleh meninggalkannya sekarang," kata Gokkaya.
Turki mengalami serangkaian krisis ekonomi yang telah menyebabkan inflasi yang merajalela dan krisis biaya hidup yang semakin dalam. Erdogan sekarang menjanjikan kemakmuran ekonomi di masa depan.
Menjelang pemilu, Erdogan telah berusaha untuk meringankan biaya hidup yang meningkat dengan memperkenalkan tagihan energi bersubsidi dan kenaikan pensiun, gaji pekerja publik dan upah minimum.
Erdogan juga menyoroti perbaikan yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari warga Turki, serta memamerkan proyek-proyek bergengsi, terutama di bidang militer, seperti pengembangan drone.