REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Turki mengkritik laporan pemantauan penyelenggaraan pemilu presiden dan parlemen di negara tersebut, yang dirilis oleh the Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Dalam laporannya, OSCE menyebut bahwa pemilu di Turki kurang transparan.
“Beberapa pernyataan politik serta tuduhan dalam laporan yang melampaui proses pemilu dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip observasi independen serta tidak memihak, disambut dengan penyesalan,” ujar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Turki dalam sebuah pernyataan tertulis, Selasa (16/5/2023), dikutip Anadolu Agency.
“Tidak boleh dilupakan bahwa analisis politik dan komentar bias akan merusak keandalan misi pemantauan pemilu OSCE,” kata Kemenlu Turki menambahkan dalam keterangannya.
Kemenlu Turki mengungkapkan, terdapat 489 pemantau pemilu internasional yang mengamati pelaksanaan pemilu parlemen dan presiden di negara tersebut pada Ahad (14/5/2023) lalu. Turki mengeklaim, telah menyediakan semua yang dibutuhkan pihak pemantau agar dapat menjalankan tugasnya tanpa kendala dan hambatan.
“Para pengamat internasional telah mengonfirmasi dengan berbagai pernyataan bahwa pemilu di negara kami diadakan di lingkungan yang transparan, bebas, pluralistik dan adil, di mana keamanan kotak suara terjamin, serta sesuai dengan standar internasional,” kata Kemenlu Turki.
Sebelumnya OSCE telah menyoroti kekurangan dalam penyelenggaran pemilu di Turki akhir pekan lalu. Mereka menilai, Dewan Pemilihan Tinggi Turki (YSK) memperlihatkan kurangnya transparansi. Temuan itu dirilis misi pengamatan bersama dari OSCE Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR), the OSCE Parliamentary Assembly (OSCE PA), dan the Parliamentary Assembly of the Council of Europe (PACE), dalam sebuah konferensi pers di Ankara pada Senin (15/5/2023).
“Saya menyesal untuk mencatat bahwa pekerjaan administrasi pemilihan kurang transparan, serta bias yang luar biasa dari media publik dan keterbatasan kebebasan berbicara,” kata Kepala misi pemantauan pemilihan ODIHR, Duta Besar Jan Petersen.
OSCE mengerahkan 401 pengamat dari 40 negara untuk memantau jalannya pemilu parlemen dan presiden Turki pada Ahad pekan lalu. Isu minimnya transparansi juga diungkap dalam laporan International Election Observation Mission (IEOM). “Proses penanganan pengaduan di semua tingkat administrasi pemilu kurang transparan dan keputusan YSK yang diterbitkan umumnya tidak cukup beralasan,” kata IEOM.
Meski mencatat adanya kekurangan transparansi dan bias pelaporan media pemerintah, OSCE tetap mengapresiasi tingginya partisipasi warga Turki dalam pemilu tahun ini. Lebih dari 64 juta warga terverifikasi berhak memberikan suaranya. “Demokrasi Turki terbukti sangat tangguh. Pemilu ini memiliki jumlah pemilih yang tinggi dan menawarkan pilihan nyata. Namun, Turki tidak memenuhi prinsip dasar penyelenggaraan pemilu yang demokratis,” ujar Ketua delegasi PACE, Frank Schawabe.
Terkait poin demokratis yang disinggungnya, Schawabe meminta Pemerintah Turki memastikan kebebasan pers. Dia menekankan bahwa liputan yang menguntungkan petahana Presiden Recep Tayyip Erdogan dan partainya yang berkuasa oleh lembaga penyiaran negara sama dengan penyensoran.
Pemilihan presiden (pilpres) Turki dipastikan berlanjut ke putaran kedua. Sebab, baik Erdogan maupun pesaing utamanya, yakni pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu, tak memperoleh suara di atas 50 persen. Erdogan menghimpun 49,51 persen suara, sedangkan Kilicdaroglu memperoleh 44,88 persen suara. Putaran kedua pilpres bakal digelar pada 28 Mei mendatang.
Sementara itu, dalam pemilu parlemen, partai Erdogan, yakni Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party), berhasil memenangkan mayoritas kursi. Dari 600 kursi yang diperebutkan, AK Party mengamankan 266 kursi. Sedangkan partai Kilicdaroglu, yaitu Partai Rakyat Republik (CHP), memperoleh 166 kursi.