REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rudal Israel menghantam blok perumahan keluarga Nabhan di Gaza empat hari lalu, dan tidak ada yang terbunuh. Tetapi sebuah keluarga dengan lima anggota penyandang disabilitas telah kehilangan tempat tinggal.
Rumah lima bersaudara penyandang disabilitas ini hancur lebur akibat serangan Rudal Israel. Kursi roda, obat-obatan, tempat tidur khusus, dan kamar mandi mereka terkubur di bawah reruntuhan. Kelima bersaudara itu menderita cacat fisik, distrofi otot, dan kejang, serta tiga di antaranya duduk di kursi roda. Rudal Israel telah menambah kesengsaraan bagi mereka.
Lima bersaudara itu sekarang tinggal bersama kerabat yang dekat dengan tempat penampungan lama mereka. Setiap pagi, kerabat membawa mereka berjalan-jalan keluar rumah. Beberapa orang menunjukkan simpati atas pengalaman mengerikan mereka, dan beberapa lainnya membawa hadiah.
"Rumah meledak saat kami dipindahkan. Kursi roda, obat-obatan, dan pakaian kami ada di dalam. Tidak ada yang tersisa," kata Hanin (16 tahun) yang memiliki cacat di kedua kakinya.
Saudara Hanin yang lainnya berusia 3 tahun, 18 tahun, 29 tahun, dan 38 tahun. Lima bersaudara menjadi emosional saat rumah mereka hancur. Hal ini telah memperburuk kondisi mental sang kakak, karena dia menjadi sangat gugup, selalu berteriak dan terkadang menangis.
Pada 13 Mei, kakak laki-laki Hanin, Jalal, menerima telepon dari nomor pribadi, tetapi dia tidak menjawabnya. Sepupu Jalal menjawab panggilan telepon itu, karena Jalal gagap saat berbicara. Peneleponnya adalah seorang perwira Israel yang memerintahkan mereka untuk segera pergi dari rumah lima menit sebelum pengeboman.
Sepupu Jalal, Hussam Nabhan (45 tahun) mencoba mengulur waktu dengan perwira Israel tersebut. Nabhan mengatakan, rumah yang menjadi sasaran dihuni oleh lima bersaudara penyandang disabilitas.
"Dia memberi tahu saya bahwa Anda punya waktu lima menit. Kami bergegas ke rumah dan menemukan mereka (lima bersaudara itu) tergeletak di lantai. Terima kasih kepada tetangga, kareba dapat membawa mereka keluar dan kami berhasil meninggalkan rumah dengan keajaiban," kata Nabhan kepada Reuters.
Sang ibu, Najah (57 tahun) mengatakan, mereka tidak sempat mengamankan barang apa pun dari rumah itu, termasuk KTP. “Rumah itu tempat penampungan anak perempuan, mereka punya toilet cacat, kursi roda, tempat tidur untuk tidur. Barang-barang yang tadinya sulit didapat, sekarang tidak ada apa-apanya,” kata Najah.
"Bagaimana saya akan menggendongnya setelah kursi rodanya hilang, kasur (sehat) juga hilang," kata Najah menambahkan.
Pertempuran yang meletus pada Selasa (9/5/2023) dini hari adalah pertarungan terpanjang sejak perang 10 hari pada 2021. Serangan dimulai ketika Israel melancarkan serangkaian serangan udara pada Selasa dini hari yang menargetkan komandan Jihad Islam.
Serangan ini sebagai tanggapan atas serangan kelompok Jihad Islam yang menembakkan lebih dari 1.000 roket, dan membuat orang Israel melarikan diri ke tempat perlindungan bom. Serangan ini menewaskan 34 orang Palestina, termasuk wanita dan anak-anak. Jihad Islam dan Israel berhasil mencapai gencatan senjata pada Sabtu (13/5/2023) yang dimediasi oleh Mesir.
Menurut pejabat Hamas, serangan udara Israel telah menghancurkan 15 blok perumahan, yang berisi lebih dari 50 apartemen. Selain itu, 940 bangunan rusak, dan 49 bangunan tidak dapat diperbaiki.
Militer Israel mengatakan, mereka melakukan segala upaya untuk membatasi korban sipil dan kerusakan. Israel menuduh kelompok Jihad Islam menyembunyikan pusat komando dan situs militer lainnya di daerah permukiman.