Senin 12 Jun 2023 16:10 WIB

Media Selandia Baru Diselidiki Terkait Berita Perang Ukraina yang Keliru

Hasil dari penyelidikan tersebut akan diumumkan kepada publik.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Selandia Baru (ilustrasi). Media Selandia Baru diselidiki terkait berita perang Ukraina yang keliru.
Foto: Annhira.com
Bendera Selandia Baru (ilustrasi). Media Selandia Baru diselidiki terkait berita perang Ukraina yang keliru.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Penyiar radio nasional Selandia Baru telah menghadapi sebuah investigasi dan membuat seorang stafnya harus berhenti setelah menyampaikan serangkaian berita mengenai invasi Rusia ke Ukraina di situs webnya, yang telah diedit untuk menampilkan laporan yang keliru dan tidak benar mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di sana.

Radio New Zealand (RNZ), yang didanai oleh pemerintah namun tetap memiliki independensi editorial, pada Ahad telah mengoreksi 15 berita di situs webnya, sejak dari bulan April 2022 karena dituduh telah mengedit berita yang tidak tepat.

Baca Juga

Koreksi yang ditambahkan RNZ pada berita-berita tersebut mengindikasikan bahwa penyuntingan telah mengubah berita-berita asli untuk menampilkan interpretasi narasi yang pro-Rusia atas fakta yang terjadi di beberapa peristiwa di Ukraina. Empat belas dari berita-berita tersebut dipasok oleh Reuters dan satu berita berasal dari BBC Inggris, demikian yang ditunjukkan oleh tautan-tautan ke berita-berita tersebut.

RNZ mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka sedang melanjutkan audit dan analisis terperinci dari semua berita yang mungkin telah diedit secara tidak tepat. Sementara itu, RNZ adalah media partner dari Reuters. Namun baik Reuters maupun BBC tidak merespons permintaan komentar.

Juru bicara menteri penyiaran dan media Selandia Baru, Willie Jackson, mengatakan ia telah mendapat informasi tentang masalah ini dan akan mendapatkan kabar terbaru dari para pejabat terkait pada Senin (12/6/2023).

Lembaga penyiaran tersebut mengatakan pada hari Jumat bahwa mereka telah mengetahui masalah ini tanpa memberikan informasi lebih lanjut dan memulai investigasi segera. Ditambahkan bahwa seorang anggota staf telah dibebastugaskan selama penyelidikan berlangsung dan sekarang tidak dapat mengakses sistem komputer RNZ.

Pada Sabtu, kepala eksekutif RNZ, Paul Thompson, mengumumkan tinjauan eksternal terhadap proses pengeditan di RNZ. Hasil dari tinjauan tersebut akan diumumkan kepada publik.

Masalah ini menjadi perhatian publik setelah ada perubahan pada berita Reuters tanggal 8 Juni tentang penggunaan kata perang di Rusia.

Berita tersebut telah diedit di situs web RNZ menjadi berbunyi bahwa pada tahun 2014 pemerintah terpilih pro-Rusia digulingkan selama Revolusi Warna, Maidan yang penuh kekerasan di Ukraina. Berita itu kemudian secara tidak akurat mengklaim alasan Rusia mencaplok Krimea setelah referendum, ketika pemerintah pro-Barat yang baru menekan etnis Rusia di Ukraina timur dan selatan.

Presiden Viktor Yanukovich yang pro-Rusia digulingkan pada tahun 2014 dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Revolusi Maidan. Revolusi ini terus memanas setelah berbulan-bulan protes yang dipicu oleh pengingkaran janji Yanukovich untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa. Puluhan pengunjuk rasa tewas.

Referendum di Krimea dianggap palsu oleh Ukraina dan sebagian besar pemerintah Barat. Mereka juga menuduh Rusia menggunakan tuduhan palsu tentang penindasan etnis Rusia untuk membenarkan kelompok-kelompok separatis pro-Moskow yang mendeklarasikan kemerdekaan di Ukraina timur.

Versi ralat di situs RNZ mengembalikan kata-kata asli dalam berita Reuters, yang menyatakan bahwa konflik di Ukraina timur dimulai pada tahun 2014 setelah presiden pro-Rusia digulingkan dalam Revolusi Maidan Ukraina dan Rusia mencaplok Krimea, dan pasukan separatis yang didukung Rusia bertempur melawan angkatan bersenjata Ukraina.

Resolusi Majelis Umum PBB menyatakan referendum Krimea tidak sah, sementara Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pada 2014 bahwa, etnis Rusia di Ukraina telah secara keliru mengklaim bahwa mereka berada di bawah serangan pemerintahan baru Ukraina, sebagai alasan untuk membenarkan intervensi Rusia. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement