Jumat 16 Jun 2023 00:40 WIB

AS Mengakui Ukraina Hadapi Perang yang Lama dengan Ongkos Tinggi

NATO mendesak bos perusahaan pertahanan meningkatkan kapasitas produksi.

Seorang prajurit Ukraina membawa rekannya yang terluka yang dievakuasi dari medan perang ke sebuah rumah sakit di wilayah Donetsk, Ukraina, Senin, 9 Januari 2023.
Foto: AP Photo/Evgeniy Maloletka
Seorang prajurit Ukraina membawa rekannya yang terluka yang dievakuasi dari medan perang ke sebuah rumah sakit di wilayah Donetsk, Ukraina, Senin, 9 Januari 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para pejabat pertahanan AS menyatakan Ukraina membutuhkan banyak bantuan saat ini. Ukraina, menghadapi perang berat dalam upaya serangan baik terhadap Rusia. Maka sekutu AS, perlu ‘menggali lebih dalam’ guna memasok senjata dan amunisi. 

‘’Ukraina memulai serangan mereka dan mencapai kemajuan menggembirakan. Ini perang yang sangat sulit, membutuhkan waktu lama dan ongkos yang tinggi,’’ kata Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley, di markas NATO, Brussels, Belgia, Kamis (15/6/2023).

Baca Juga

Milley menyatakan hal ini setelah pertemuan Contact Group, terdiri atas  50 negara yang memberikan bantuan militer ke Ukraina. Hal senada disampaikan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dalam pertemuan itu. 

Ia menegaskan, Kiev butuh dukungan janga pendek maupun panjang. Ia menganalogikan bahwa perang ini merupakan ‘maraton’ bukan ‘sprint’ bagi Ukraina.  Ia mencatat, Contact Group telah memberikan sistem pertahanan udara Patriot, IRIS-T, dan NASAMS.

Sistem pertahanan ini melindungi warga Ukraina dari serangan rudal Rusia. Namun, itu semua belum cukup. Ukraina membutuhkan bantuan lebih banyak. ’’Saya meminta anggota Contact Group menyediakan lebih banyak aset pertahanan udara dan senjata,’’ kata Austin. 

Ia menjelaskan, bantuan disesuaikan dengan perkembangan di lapangan, sesuai kebutuhan pasukan Ukraina. Pertemuan di Brussels merupakan yang ke-13 kalinya. Kelompok dibentuk AS untuk mengkoordinasikan bantuan Barat untuk Kiev. 

Jaminan keamanan bagi Ukraina ...

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement