REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Amerika Serikat mengawasi para pekerja dari perusahaan besar telekomunikasi Cina di Kuba, menurut laporan Wall Street Journal pada Rabu (21/6/2023). Para pekerja itu diduga melakukan operasi mata-mata di pulau itu selama masa jabatan mantan Presiden AS Donald Trump.
Pejabat AS meninjau data intelijen yang melacak pekerja yang masuk dan keluar dari fasilitas sejumlah perusahaan Cina, yaitu Huawei Technologies dan ZTE. Fasilitas tersebut diduga menjadi tempat operasi mata-mata di pulau Karibia itu, menurut harian tersebut yang mengutip sumber yang mengetahui masalah tersebut.
"Intelijen menunjukkan kecurigaan di dalam pemerintahan Trump bahwa perusahaan telekomunikasi itu kemungkinan berperan dalam melebarkan kemampuan Cina untuk memata-matai AS dari pulau itu," sebut Wall Street Journal.
Menurut harian itu, tidak jelas apakah pemerintahan Biden saat ini akan terus melanjutkan untuk melacak para pekerja. Huawei menyangkal laporan tersebut dan menyebutnya "tuduhan tanpa dasar", dan ZTE tidak menanggapi permintaan untuk komentar, kata laporan itu.
Pada Selasa, Mike Gallagher, ketua Komite Kongres AS tentang Partai Komunis Cina mengirimkan surat kepada Direktur Intelijen Nasional Avril Haines dan Menteri Perdagangan Gina Reimondo, meminta penjelasan mengenai kebijakan AS untuk mengendalikan ekspor teknologi Amerika kepada perusahaan-perusahaan telekomunikasi Cina.
"Huawei telah membantu pemerintah Kuba dalam memodernisasi infrastruktur telekomunikasi dan internet sejak 2000-an, dan perusahaan itu, bersama ZTE dan Grup Teknologi Informasi Great Dragon, menjaga kehadiran bisnis reguler di pulau itu," kata Gallagher dalam surat tersebut.
Gallagher menyoroti dalam suratnya mengenai kebijakan resmi Cina dalam memanfaatkan entitas komersialnya untuk meningkatkan kemampuan militer, serta menambahkan setiap perkembangan kemampuan intelijen Cina di Kuba "kemungkinan besar" dibantu oleh perusahaan telekomunikasi Cina, tambah laporan itu.
"Dia berspekulasi bahwa bisnis operasi perusahaan-perusahaan ini di Kuba dapat menyediakan perlindungan bagi pejabat-pejabat intelijen Cina untuk melakukan perjalanan ke dan dari pulau itu tanpa menimbulkan kecurigaan seperti lawatan resmi," kata laporan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengatakan pada Selasa bahwa dia telah mengatakan kepada mitranya di Cina bahwa AS "akan sangat prihatin" mengenai Cina yang mengadakan aktivitas pengawasan dan kemiliteran di Kuba.
"Ini adalah sesuatu yang akan kami awasi sangat, sangat dekat, dan kami sangat jelas mengenai itu. Dan kami akan melindungi tanah air kami; kami akan melindungi kepentingan kami," kata Blinken.
Blinken menyampaikan hal itu kepada wartawan di London ketika ditanya mengenai pembahasan antara Cina dan Kuba atas fasilitas latihan militer bersama di negara pulau itu.
Pekan lalu, pemerintahan Biden mengatakan bahwa Cina telah mengoperasikan operasi pengawasan sejak lama di Kuba setelah laporan menyebutkan Beijing dan Havana mencapai kesepakatan untuk menempatkan pos yang mencegat komunikasi elektronik di negara itu.
Sebelumnya, Wall Street Journal melaporkan bahwa Kuba setuju menjadi tempat bagi pos pencegat komunikasi elektronik dengan imbalan miliaran dolar. Laporan tersebut kala itu segera disangkal baik oleh Havana maupun Beijing, serta pemerintahan Biden menyebut informasi itu tidak akurat.
"Laporan asli, seperti yang kami katakan, tidak akurat," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin menyangkal klaim pada 12 Juni mengenai Beijing yang menggunakan Kuba sebagai pangkalan mata-mata, seraya mengatakan hal itu sebagai "tuduhan palsu".
Kantor berita Cina Xinhua pada 13 Juni melaporkan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri Kuba Carlos Fernandez de Cossio juga menyangkal klaim mengenai fasilitas "mata-mata" di Kuba dan mengatakan tuduhan tersebut "dibuat-buat, benar-benar salah, dan tidak berdasar."