REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Senin (3/7/2023) mengatakan, kerusuhan nasional Prancis disebabkan rasisme institusional, Islamofobia, dan masa lalu kolonial Prancis. Prancis diguncang gelombang protes dan kerusuhan nasional yang dipicu oleh penembakan polisi terhadap seorang remaja keturunan Aljazair berusia 17 tahun.
“Terutama di negara-negara yang dikenal dengan masa lalu kolonialnya, rasisme budaya telah berubah menjadi rasisme institusional,” ujar Erdogan, dilaporkan Al Arabiya.
“Akar dari peristiwa yang dimulai di Prancis adalah arsitektur sosial yang dibangun oleh mentalitas ini. Sebagian besar imigran yang dikutuk untuk tinggal di ghetto, yang ditindas secara sistematis, adalah Muslim," kata Erdogan.
Erdogan menambahkan, rasisme di Prancis telah melahirkan kekerasan dan memicu peristiwa memilukan yang saat ini masih berlangsung. Erdogan memperingatkan otoritas Prancis untuk memperhatikan budaya rasisme tersebut.
“Jalanan tidak bisa menjadi sarana untuk mencari keadilan. Namun, jelas bahwa pihak berwenang juga harus belajar dari ledakan sosial tersebut," ujar Erdogan.
Kerusuhan sipil Prancis telah mengakibatkan larangan demonstrasi di beberapa kota, imbauan perjalanan, dan argumen tentang bias rasial dalam penegakan hukum. Pengunjuk rasa membakar kendaraan, merusak bangunan, dan terlibat dalam konfrontasi kekerasan dengan polisi anti huru hara. Krisis ini memaksa Presiden Emmanuel Macron untuk mengadakan pertemuan darurat dengan para menteri
Para pengunjuk rasa mengacungkan plakat yang menyatakan "polisi membunuh". Mereka menyerang dan merusak struktur pemerintah. Hal ini mencerminkan kebencian yang meluas atas prasangka rasial.
Kekerasan yang meluas membuat otoritas Prancis melakukan tindakan keras. Polisi mengerahkan lebih dari 40 ribu petugas secara nasional. Sementara ribuan orang yang terkait dengan kekerasan telah ditangkap, dan ratusan petugas penegak hukum menderita luka-luka.
Pembakaran Alquran bisa mengubah citra....