Kamis 06 Jul 2023 10:19 WIB

Serangan Israel tidak Bisa Patahkan Semangat Warga Jenin

Militer Israel melakukan operasi militer di kamp pengungsi Jenin selama dua hari.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Seorang wanita Palestina berjalan di jalan yang rusak di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Rabu, 5 Juli 2023, setelah tentara Israel menarik pasukannya.
Foto: AP/Majdi Mohammed
Seorang wanita Palestina berjalan di jalan yang rusak di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Rabu, 5 Juli 2023, setelah tentara Israel menarik pasukannya.

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Lengan Waled Rashed Mansour berwarna biru akibat serangan anjing militer Israel. Ingatan itu sama barunya dengan lukanya.

"Mereka datang ke rumah kami, mereka meledakkan pintunya. Mereka melepaskan anjingnya ke arahku. Anjing itu berlari dan menyerang saya di dada saya," kenang pria berusia 65 tahun itu di kamp pengungsi Jenin di wilayah pendudukan Tepi Barat.

Baca Juga

Mereka adalah militer Israel. Pasukan tersebut mengumumkan telah menarik diri dari kamp setelah dua hari serangan udara dan darat pada Rabu (5/7/2023) pagi.

Setelah tentara Israel akhirnya menarik anjing itu dari Mansour, mereka meratakan rumahnya. “Mereka meledakkan pintunya. Mereka menjungkirbalikkan rumah saya. Mereka terus bertanya 'Apakah ada senjata?'” kata Mansour.

Ketika pengepungan terbesar Israel di Jenin dalam dua dekade berakhir, kisah trauma dan kehancuran muncul dari pemukiman kecil. Tempat ini telah menjadi rumah bagi tiga generasi warga Palestina yang harus meninggalkan tanah leluhur mereka selama Nakba pada 1948.

“Pesan kepada dunia dan pendudukan adalah kamp ini akan terus berjalan. Mereka mencoba untuk menghancurkannya dan itu muncul kembali," kata Ahmed Abu Hweileh seorang penghuni kamp pengungsi.

Pengepungan dua hari melibatkan pasukan Israel, rudal dan peralatan pemindah tanah yang digunakan untuk menghancurkan jalan dan infrastruktur sipil lainnya. Israel telah membenarkan serangan itu sebagai sasaran bagi kelompok bersenjata yang beroperasi di luar Jenin, yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap pendudukan ilegal Israel di Tepi Barat.

Namun, penghuni kamp mengatakan, warga sipil yang bukan pejuang bersenjata justru menanggung beban serangan Israel. Raed Jameel Mohammad Taleb berusia 39 tahun mengatakan, penembak jitu Israel memasuki rumahnya pada hari pertama dan menggunakannya sebagai landasan untuk melancarkan serangan. Taleb tinggal bersama istri, ibu, dan dua anaknya.

Sementara itu, rudal terbang keluar. Kemudian, traktor lapis baja datang dan meratakan semua yang ada di jalan, termasuk mobil Taleb. “Saya menggunakan mobil ini untuk pergi bekerja setiap hari. Kami tidak mengharapkan ukuran kehancuran ini. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghancurkan," katanya.

Sekitar matahari terbenam pada Selasa (4/7/2023), pasukan Israel mengatakan kepada Ayman Saadi yang berusia 46 tahun dan keluarganya, mereka perlu mengungsi karena tentara ingin meledakkan rumah tetangga. Saadi memiliki enam anak, termasuk seorang putri dengan kebutuhan khusus dan seorang anak berusia tiga tahun, keduanya dibawa saat keluarganya melarikan diri dari kekerasan. “Mereka membalikkan mobil, seluruh area hancur,” katanya.

Bagi penduduk yang lebih tua, pengepungan menghidupkan kembali kenangan 2002. Ketika itu Israel melancarkan serangan besar-besaran selama berhari-hari di kamp Jenin, menewaskan lebih dari 50 warga Palestina.

Mohammad Obaid mengatakan, tentara Israel juga menghancurkan tugu peringatan untuk para pejuang yang terbunuh di dekat rumahnya. “Itu sangat mengganggu mereka, mereka mencoba menghapus gambar (para martir di tugu peringatan) tetapi mereka tidak bisa,” katanya.

Beberapa penduduk percaya bahwa militer Israel sengaja menargetkan jalan dan infrastruktur publik lainnya. Tindakan itu diharapkan akan membuat penduduk kamp menekan para pejuang perlawanan untuk menyerah.

Justru sebaliknya, pengepungan Israel hanya akan menguatkan keengganan warga untuk menyerah menghadapi agresi. “Mereka melampiaskan amarah mereka ke kamp. Mereka tidak dapat menghancurkan perlawanan, atau kamp kami, atau mematahkan semangat kami, atau membuat kami takut," kata salah satu warga kamp Jenin, Anaam Awwad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement