REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Penuntut Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan mengatakan pada Kamis (13/7/2023), sedang dilakukan penyelidikan dugaan kejahatan perang baru dan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah Darfur Sudan. Konflik tersebut telah menewaskan lebih dari 3.000 orang dan memaksa lebih dari tiga juta orang meninggalkan rumahnya.
Khan mengatakan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), bahwa pertempuran antara pasukan pemerintah dan paramiliter Rapid Security Forces (RSF) telah meluas ke Darfur dan kekejaman pada 2003. Dia mengatakan, dunia, negara dan DK PBB dalam bahaya jika membiarkan sejarah terulang kembali.
Pada 2005, DK PBB merujuk situasi di Darfur ke ICC. Khan mengatakan, ICC masih memiliki mandat di bawah resolusi itu untuk menyelidiki kejahatan di wilayah barat yang luas itu.
Darfur telah menjadi salah satu pusat konflik saat ini yang dimulai pada 15 April. Bentrokan itu berubah menjadi arena kekerasan etnis dengan pasukan paramiliter dan sekutu milisi Arab menyerang kelompok etnis Afrika.
Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan pada Kamis, sedikitnya 87 mayat dengan beberapa dari mereka dari suku Masalit Afrika ditemukan di sebuah kuburan massal di Darfur Barat. Laporan yang mengutip informasi yang dapat dipercaya menyatakan, mereka dibunuh oleh para anggota RSF dan milisi sekutu.
"Kami sedang menyelidiki tuduhan itu. Dengan analisis apa pun, kami tidak berada di jurang bencana manusia, tetapi di tengah-tengahnya," ujar Khan.
“Ada perempuan dan anak-anak, anak laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dalam ketakutan akan nyawa mereka, hidup dalam ketidakpastian di tengah konflik, dan rumah mereka dibakar. Banyak yang kita bicarakan tidak akan tahu apa yang akan terjadi malam itu dan nasib apa yang menanti mereka besok," kata jaksa penuntut itu.
Khan mengatakan, ICC juga menyelidiki banyak tuduhan lain di Darfur Barat termasuk penjarahan, pembunuhan di luar hukum, dan pembakaran rumah, serta tuduhan di Darfur Utara. Dia menegaskan, siapa pun di dalam atau di luar Sudan yang membantu atau bersekongkol melakukan kejahatan di Darfur akan diselidiki.
Menurut Khan, kantornya telah menginstruksikan untuk memprioritaskan kejahatan terhadap anak-anak dan kekerasan berbasis seksual dan gender. "Kita harus bertindak segera, secara kolektif, untuk melindungi yang paling rentan jika frasa 'tidak pernah lagi' yang sering diulang ini berarti apa-apa," ujarnya.
Wilayah Darfur yang luas dilanda pertumpahan darah pada 2003. Pemberontak dari komunitas etnis pusat dan sub-Sahara Afrika di wilayah itu melancarkan pemberontakan yang menuduh pemerintah yang didominasi Arab di Khartoum melakukan diskriminasi dan pengabaian.
Pemerintah Presiden Omar al-Bashir menanggapi dengan serangan bumi hangus dengan pengeboman udara. Dia pun melepaskan milisi Arab nomaden lokal yang dikenal sebagai Janjaweed, yang dituduh melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan. Hingga 300 ribu orang meninggal dan 2,7 juta orang diusir dari rumahnya.
Pada April, sidang ICC pertama untuk menangani kekejaman oleh pasukan yang didukung pemerintah Sudan di Darfur dimulai di Den Haag, Belanda. Terdakwa pemimpin Janjaweed Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman atau Ali Kushayb mengaku tidak bersalah atas semua 31 tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Khan mengatakan, penuntutan telah menutup kasusnya dan persidangan diperkirakan akan dilanjutkan, terlepas dari konflik yang sedang berlangsung. Dia mengutip seorang saksi yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan kepada pengadilan bahwa setelah 20 tahun masih menginginkan keadilan.
Al-Bashir juga menghadapi dakwaan ICC atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait konflik Darfur. Dia telah berada di penjara di Khartoum sejak digulingkan dari kekuasaan pada 2019 bersama dua orang lainnya yang dicari oleh ICC.
Khan memberi pengarahan kepada DK PBB segera setelah para pemimpin dari tujuh negara tetangga Sudan bertemu di Kairo pada Kamis. Mereka melakukan pembicaraan perdamaian paling populer sejak konflik meletus di seluruh negara Afrika timur laut itu 90 hari lalu.
Pertempuran selama 12 minggu telah mengubah Khartoum, ibu kota Sudan, menjadi medan perang perkotaan. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, konflik memaksa lebih dari 2,4 juta orang meninggalkan rumah ke daerah yang lebih aman di dalam negeri. Sekitar 738 ribu lainnya telah menyeberang ke negara tetangga.