REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengabaikan desakan Pemerintah AS untuk menahan diri dalam mengamendemen sistem yudisial dengan melemahkan kewenangan mahkamah agung.
Dalam pemungutan suara, Senin (24/7/2023), Knesset, parlemen Israel, meloloskan undang-undang yang mengubah sistem yudisial. Namun, Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden hanya mempunyai pilihan terbatas untuk merespons Israel.
Pernyataan langsung bahkan terkadang kritis dari Biden dan pejabat senior AS lainnya gagal membujuk koalisi pemerintahan nasionalis-agama pimpinan Netanyahu mendorong amendemen itu, yang pada Senin disetujui parlemen.
Gedung Putih menyampaikan pernyataan singkat menyebut pemungutan suara di Knesset disayangkan dan mendesak dicapainya konsensus lebih luas. Namun tak menyebutkan bakal adanya dampak praktis yang akan dihadapi pemerintahan Netanyahu.
Ini mengungkap terbatasnya kemampuan Biden mengendalikan Netanyahu. ‘’Biden tak mau perang secara terbuka dengan pemimpin Israel. Ini terlalu berisiko secara politik,’’ ujar Aaron David Miller, mantan negosiator AS untuk Timur Tengah.
‘’Jadi, dia tertahan ... kesulitan melakukan tindakan yang seimbang,’’ jelas Miller. Demokrat, partai pendukung Biden, menyadari kondisi ini bisa menjadi amunisi bagi Republik bahwa Biden anti-Israel yang akan membuat pemilih independen dan donatur Yahudi menyingkir.
Apalagi, Biden berencana mencalonkan kembali sebagai presiden pada Pemilu 2024. Para anggota parlemen dan kandidat presiden Republik dengan cepat juga menuduh Biden mencampuri urusan dalam negeri Israel.