REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Mahkamah Agung India pada Rabu (2/8/2023) menggelar persidangan untuk mendengarkan petisi berisi penentangan atas keputusan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mencabut status khusus wilayah Jammu-Kashmir pada 2019. Wilayah tersebut diketahui turut dipersengketakan India dengan Pakistan.
Dalam persidangan yang dipimpin lima hakim, termasuk ketua Mahkamah Agung, didengarkan serangakain petisi menentang pencabutan status khusus Kashmir oleh pemerintahan Modi. “Kasusnya ada di depan bangku konstitusi paling atas di negara ini. Kami optimistis karena kami tahu kasus kami sangat kuat,” kata Hasnain Masoodi, seorang anggota parlemen India yang berbasis di Kashmir.
“Kerangka kerja konstitusional ini memberikan mekanisme untuk menjadi bagian dari serikat India. Pencabutan itu adalah pengkhianatan dan serangan terhadap identitas kami,” ujar Masoodi.
Masoodi, yang merupakan anggota dari partai politik terbesar di Kashmir, yakni Konferensi Nasional, adalah salah satu pembuat petisi pertama penolak keputusan pemerintahan Modi. Dia juga menjabat sebagai hakim di pengadilan tinggi Kashmir.
Kashmir yang dikelola India sempat dibekap ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi memutuskan mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus 2019. Kashmir adalah satu-satunya wilayah di India berpenduduk mayoritas Muslim. Pencabutan status khusus itu segera ditolak warga Kashmir. Mereka khawatir langkah demikian akan mengubah komposisi demografis di sana.
Warga akhirnya turun ke jalan dan menggelar demonstrasi. Unjuk rasa berlangsung di beberapa daerah di wilayah Kashmir yang dikelola India. Pemerintah merespons aksi massa tersebut dengan mengerahkan pasukan ke sana. Tak hanya itu, jaringan televisi dan telekomunikasi, termasuk internet, dipadamkan. Kashmir diisolasi dari dunia luar.
Pakistan, sebagai negara tetangga dengan mayoritas penduduk Muslim, turut memprotes keputusan India mencabut status khusus Kashmir. Kala itu Islamabad memutuskan membekukan semua aktivitas perdagangan dan menurunkan level hubungan diplomatiknya dengan New Delhi.
Setelah status khususnya dicabut, pada 2020, India menerbitkan undang-undang (UU) domisili. Lewat UU tersebut, setiap warga negara India yang telah tinggal di Kashmir selama setidaknya 15 tahun atau menempuh pendidikan selama tujuh tahun dapat menjadi penduduk tetap di sana.
Pada 2020, Pemerintah India juga melonggarkan aturan bagi tentaranya untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun permukiman “strategis”. Otoritas India menyebut hak tinggal baru sebagai tindakan yang terlambat untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih besar. Namun para kritikus berpendapat langkah itu dapat mengubah susunan populasi di Kashmir.
Banyak warga Kashmir khawatir masuknya “orang luar” dapat mengubah hasil plebisit jika peristiwa itu terjadi. Meskipun resolusi PBB tahun 1948 menjanjikan Kashmir dapat menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan India atau Pakistan.
Sebagian besar Muslim Pakistan mendukung gagasan untuk menyatukan wilayah tersebut dengan Pakistan. Jika tidak, mereka lebih memilih menjadi negara merdeka dibandingkan harus bergabung dengan India. Pemerintah India telah menuduh Pakistan mensponsori “terorisme” di Kashmir. Islamabad membantah tudingan tersebut.
Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan oleh Line of Control (LOC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.