REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Mahkamah Agung (MA) India telah mengesampingkan permintaan referendum yang menantang undang-undang pencabut status kenegaraan dan khusus Jammu dan Kashmir. Kasus Brexit di Inggris menjadi contoh yang digunakan dalam perdebatan keputusan itu.
"Dalam Konstitusi seperti kami, tidak ada masalah referendum," ujar Ketua MA India Dhananjaya Yeshwant Chandrachud.
Chandrachud tidak setuju dengan pandangan permohonan referendum. "Dalam demokrasi konstitusional, mencari pendapat rakyat harus melalui institusi yang mapan. Setiap jalan keluar bagi publik harus melalui itu. Anda tidak dapat membayangkan situasi seperti Brexit. Dalam demokrasi konstitusional, tidak ada yang seperti referendum,” katanya dikutip dari Anadolu Agency.
Dalam sidang pada Selasa (8/8/2023), Advokat senior Kapil Sibal, penasihat hukum pemohon mengatakan, pencabutan Pasal 370 pada 2019 adalah tindakan politik seperti Brexit. Dalam kasus itu pendapat warga Inggris dicari melalui referendum.
"Pengadilan ini akan mengingat Brexit. Di Brexit, tidak ada ketentuan konstitusional (di Inggris) yang mencari referendum. Namun, ketika Anda ingin memutuskan hubungan yang telah terjalin, Anda pada akhirnya harus meminta pendapat rakyat karena orang-orang adalah di pusat keputusan ini bukan Persatuan India," kata Sibal.
Inggris meninggalkan Uni Eropa pada 2020 setelah referendum Brexit pada 2016. Hasil referendum ini mengakhiri keanggotaan negara tersebut selama empat dekade di blok tersebut.
Sibal mengatakan keputusan pemerintah bersifat politis diambil secara sepihak oleh eksekutif. "Tidak bisa disebut sebagai keputusan yang sejalan dengan konstitusi," ujarnya.
Pada 5 Agustus 2019, India mencabut Pasal 370 Konstitusi yang mengizinkan Jammu dan Kashmir memiliki Konstitusi, bendera, dan badan legislatif dua majelis sendiri. Wilayah ini dapat menyusun undang-undangnya sendiri.
Pasal 35A juga dihapuskan yang memungkinkan wilayah tersebut untuk menentukan penduduknya dan melarang orang luar membeli properti atau mengambil pekerjaan pemerintah. Sementara itu, negara dibagi menjadi dua wilayah persatuan yang diperintah secara terpusat, sekarang disebut Jammu dan Kashmir, serta Ladakh.
Wilayah Kashmir yang mayoritas Muslim diklaim oleh Pakistan dan India secara penuh, tetapi dikuasai sebagian. Islamabad mengatakan langkah New Delhi pada 2019 itu ilegal, dan sejak itu menurunkan hubungan diplomatik serta menghentikan perdagangan.