REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Pemimpin pertahanan dari negara-negara Afrika Barat menyelesaikan rencana intervensi atas kudeta militer Niger pada Jumat (4/8/2023). Mereka mendesak militer untuk menyiapkan sumber daya setelah negosiasi menemui jalan buntu.
Perwakilan dari anggota ECOWAS kecuali Mali, Burkina Faso, Chad, Guinea, dan Niger bertemu di Abuja, Nigeria. Mereka menyimpulkan dengan beberapa tindakan termasuk intervensi militer yang diuraikan sebagai rekomendasi kepada para pemimpin regional.
“Semua elemen yang akan masuk ke intervensi akhirnya telah dibawa ke sini dan disempurnakan, termasuk waktu, sumber daya yang dibutuhkan dan bagaimana dan di mana serta kapan kita akan mengerahkan kekuatan seperti itu,” kata Komisaris ECOWAS untuk urusan politik, perdamaian, dan keamanan Abdel-Fatau Musah.
Musah tidak mengatakan kemungkinan ECOWAS akan mengerahkan pasukan seperti itu pada akhir tenggat waktu satu minggu yang diberikan kepada junta. Namun dia menegaskan, junta harus mengembalikan Presiden Niger Mohamed Bazoum dalam beberapa hari mendatang.
"Atau kami akan menyerahkan mereka kepada otoritas sipil," ujar Musah.
Kepala staf pertahanan Nigeria Christopher Musa meminta para kepala militer regional untuk mengikuti rasa urgensi. Dia meminta rekan-rekannya mengalokasikan sumber daya yang diperlukan seperti yang telah mereka sepakati.
“ECOWAS tidak akan digunakan untuk kudeta. Demokrasi adalah apa yang kami perjuangkan dan demokrasi adalah apa yang akan kami pertahankan,” kata kepala pertahanan Nigeria.
Musa menyerukan tindakan untuk juga mengatasi penyimpangan keamanan di Afrika Barat. Dia mengatakan ,pemberontakan terbaru menyoroti kerapuhan wilayah kita.
Tentara Niger yang melancarkan pemberontakan 26 Juli saat ini menghadapi tenggat waktu untuk melakukan pembicaraan yang ditetapkan oleh ECOWAS hingga Ahad (6/8/2023). Namun diskusi itu terhenti, dengan delegasi tidak dapat bertemu dengan pemimpin kudeta, Jenderal Abdourahmane Tchiani, atau pergi ke ibu kota, Niamey.
Pengumuman junta membawa skeptisisme lebih lanjut tentang kesepakatan apa pun. Dikatakan pihaknya mengakhiri perjanjian dan protokol militer yang ditandatangani dengan Prancis. Junta juga dan mengumumkan berakhirnya fungsi duta besar Niger untuk Prancis, Amerika Serikat (AS), Togo dan negara tetangga Nigeria, yang memimpin upaya dialog ECOWAS.
“Semua agresi atau upaya agresi terhadap negara bagian Niger akan ditanggapi segera dan tanpa peringatan,” kata juru bicara pemimpin kudeta Kolonel Mayor Amadou Abdramane.
Mali, Burkina Faso, dan Guinea, telah menyatakan dukungan untuk kudeta. Mali dan Burkina Faso mengatakan, intervensi semacam itu akan menjadi deklarasi perang melawan mereka.
Kementerian Luar Negeri Prancis menjawab bahwa negaranya hanya mengakui otoritas Niger yang sah dan menolak langkah para pemimpin kudeta. Prancis menegaskan kembali seruannya untuk pembentukan kembali institusi demokrasi Niger.
Sedangkan AS mengatakan pada Jumat malam, bahwa pihaknya menangguhkan beberapa program bantuan yang menguntungkan pemerintah Niger. Washington memberi ancaman untuk menarik dukungan keuangan kecuali pasukan pemberontak membatalkan pengambilalihannya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tidak memberikan perincian ancaman tersebut. Dia menekankan dalam sebuah pernyataan, Washington akan melanjutkan bantuan kemanusiaan dan makanan yang menyelamatkan jiwa.
Pemerintahan Joe Biden telah memberikan bantuan sipil dan keamanan kepada Niger yang miskin ratusan juta dolar. AS memutuskan menghentikan kemitraan keamanannya dengan negara itu di awal kudeta.
Bazoum menulis bahwa situasi keamanan Niger telah membaik sebelum kudeta, berbeda dengan negara tetangganya Mali dan Burkina Faso yang dipimpin oleh junta militer. Namun, presiden yang digulingkan itu mengatakan, negara tersebut sekarang beresiko karena Niger akan kehilangan bantuan dari mitra asing. Dia pun menyoroti keberadaan kelompok ekstremis akan mengambil keuntungan dari ketidakstabilan negara akibat kudeta.
“Pada saat kami membutuhkan, saya meminta pemerintah AS dan seluruh komunitas internasional untuk membantu kami memulihkan tatanan konstitusional kami,” ujar Bazoum menulis opini di Washington Post.
Prancis memiliki 1.500 personel militer di Niger, yang telah dibayangkan sebagai basis operasi kontrateror di wilayah tersebut. Penempatan ini dilakukan setelah sentimen anti-Prancis tumbuh di tempat lain.
Sedangkan AS memiliki 1.100 personel militer di Niger, termasuk di pangkalan drone utama. Mereka mengindikasikan enggan untuk pergi, terutama dengan meningkatnya pengaruh kelompok militer swasta Rusia Wagner di Sahel.
Juru bicara Istana Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, Rusia prihatin dengan ketegangan regional yang muncul. "Campur tangan oleh kekuatan non-regional tidak mungkin mengubah situasi menjadi lebih baik," ujarnya.
ECOWAS tidak berhasil membendung kudeta...