REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY – Penjahit Niger, Yahaya Oumarou, memotong dengan hati-hati kain putih, biru, dan merah. Ia menyatukan kain-kain itu dengan menjahitnya menjadi bendera Rusia. Banyak pesanan yang harus ia selesaikan.
‘’Sejak terjadinya kudeta, saya telah membuat lusinan bendera Rusia,’’ kata Oumarou, yang bekerja di ibu kota Niger, Niamey, Rabu (9/9/2023). Okacha Abdoul-Aziz, warga Niamey menyatakan senang dengan bendera Rusia.
‘’Saya fan bendera Rusia, inilah mengapa hari ini saya membeli kain untuk diserahkan ke penjahit untuk dibuatkan bendera Rusia. Sebelum kudeta, saya tak tahu bendera Rusia,’’ kata Aziz yang ikut aksi massa pro junta saat militer melakukan kudeta.
Banyak permintaan bendera Rusia sejak Presiden Niger Mohamed Bazoum digulingkan dari pemerintahan melalui kudeta militer akhir bulan lalu. Massa yang merayakan kudeta tersebut juga menyampaikan dukungan kepada Rusia.
Dukungan meluas kepada Rusia di Niger menular ke negara-negara Afrika Barat lainnya. Kondisi tersebut mengkhawatirkan negara-negara Barat karena bisa jadi pengaruh mereka kemudian terkikis digantikan kian mengauatnya pengaruh Rusia.
Oumarou menambahkan, bendera negara tetangga, yaitu Burkina Faso, Guinea, dan Mali, yang mengalami kudeta militer sejak 2020, juga populer di Niger. Dukungan kepada Rusia bersamaan dengan meningkatnya sentiment anti-Prancis di seluruh Afrika Barat.
Junta militer Mali telah memalingkan mukanya dari Prancis sejak mengambil pemerintahan pada 2021. Mereka kemudian lebih memilih bermitra dengan tentara bayaran Rusia untuk memerangi kelompok perlawanan jihadis di Sahel.
Warga di Burkina Faso juga mengibarkan bendera Rusia selama demonstrasi anti-Prancis yang menjelma jadi kekerasan, kemudian diikuti aksi kudeta pada September 2022. Kudeta kedua di negara tersebut pada tahun yang sama.