Kamis 10 Aug 2023 14:38 WIB

Alasan Kekacauan Jambore Pramuka Dunia di Korsel

Jambore pramuka dunia pertama sejak pandemi ini dihadiri perwakilan dari 155 negara.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Peserta Jambore Pramuka Dunia dievakuasi dari lokasi perkemahan di Buan, Korea Selatan, Selasa (8/8/2023). Puluhan ribu anak muda akan dievakuasi dari perkemahan Jambore Pramuka Dunia akibat cuaca buruk dan badai.
Foto: Kim Myung-nyeon/Newsis via AP
Peserta Jambore Pramuka Dunia dievakuasi dari lokasi perkemahan di Buan, Korea Selatan, Selasa (8/8/2023). Puluhan ribu anak muda akan dievakuasi dari perkemahan Jambore Pramuka Dunia akibat cuaca buruk dan badai.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Tempat sampah yang meluap. Toilet kotor. Area yang dipenuhi serangga. Gambar itu adalah beberapa kondisi yang harus dihadapi oleh sekitar 40 ribu anggota pramuka remaja dalam sepekan terakhir di Jambore Pramuka Dunia.

Kondisi yang mengkhawatirkan ini membuat banyak pihak menyoroti kesiapan tuan rumah Korea Selatan (Korsel). Ditambah lagi, negara itu bersiap dengan kedatangan Topan Khanun pada Kamis (10/8/2023).

Baca Juga

Acara pertemuan pramuka global pertama sejak pandemi ini dihadiri oleh perwakilan dari 155 negara. Hanya saja, Korsel yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas dan musim dingin serta Piala Dunia sepak bola FIFA kali ini tidak memunculkan kesan yang baik.

Dokumen perencanaan dan wawancara dengan peserta dan pejabat pemerintah menunjukkan, bahwa bahkan tanpa tantangan yang ditimbulkan oleh gelombang panas dan topan, kegiatan jambore berlangsung berantakan. Penyelenggaran tidak memberikan perhatian pada peringatan yang muncul, terlebih lagi persiapan tidak memadai.

Korsel memenangkan tawaran untuk menjadi tuan rumah jambore pada 2017. Ketika itu, menurut tinjauan //Reuters// atas laporan pemerintah yang tersedia untuk umum, perkemahan di dataran lumpur reklamasi dipandang berpotensi bermasalah.

Salah satu laporan menunjukkan, bahwa pejabat dari Badan Pengembangan dan Investasi Saemangeum, sebuah organisasi pemerintah yang mengembangkan area perkemahan, telah meminta tempat teduh dan toilet yang cukup untuk didirikan. Pengajuan itu dilakukan setelah mengunjungi Jambore Pramuka Dunia 2019 di Virginia Barat untuk mempelajari lebih lanjut tentang acara tersebut.

"Itu terletak di lapangan tanpa pohon sehingga perlu dibuat naungan dan tempat berlindung untuk menghindari panas demi keselamatan peserta," kata laporan itu.

Laporan itu juga menyoroti keharusan toilet yang memadai dan pengaturan bau yang cukup untuk tidak merusak kredibilitas nasional. Namun, dalam laporan yang diterbitkan pada 2018 dan 2020, perencana provinsi Jeolla Utara menemukan bahwa rencana awal untuk menanam hutan yang subur di lokasi perkemahan tidak mungkin dilakukan karena tanahnya terlalu asin.

Seorang pejabat provinsi mengatakan, mereka telah membuat terowongan yang terbuat dari tanaman rambat untuk membantu mendinginkan daerah tersebut, tetapi mengakui itu tidak cukup. Benar saja, tidak lama setelah para peserta tiba minggu lalu di tengah suhu tinggi yang tidak sesuai musim hingga 34 derajat celcius, ratusan orang jatuh sakit.

Para peserta yang sakit menimbulkan gejala yang berhubungan dengan panas, gigitan serangga, dan penyakit lainnya. Penyelenggara kemudian mengirim lebih banyak petugas medis, perbekalan, dan truk air.

Kepala eksekutif Pramuka Inggris Matt Hyde mengatakan, kelompok tersebut memutuskan untuk menarik kontingennya karena toilet tidak dibersihkan, sampah menumpuk, dan tidak mendapatkan cukup makanan. "Tidak aman di sana," katanya menyerukan penyelidikan independen atas perencanaan acara tersebut.

Menteri Kesetaraan Gender dan salah satu ketua panitia penyelenggara Kim Hyun-sook menyatakan, toilet yang tidak bersih adalah salah satu masalah terbesar di acara tersebut. Penyelenggara mengatakan, jumlah staf kebersihan kemudian ditambah, dari 70 menjadi 540 orang. Namun, kondisi kamp yang buruk membuat pemerintah provinsi mengerahkan 520 pegawai negeri untuk membantu membersihkan kamar mandi dan toilet.

Kegiatan itu pun menjadi bencana publik di media internasional ketika para peserta, orang tua, dan pejabat pramuka senior mengajukan keluhan. Kegagalan ini terjadi pada waktu yang sensitif bagi pemerintah Korsel yang sedang berusaha keras untuk menjadi tuan rumah World Expo 2030 di Busan.

Negara tuan rumah Expo akan dipilih pada November 2023. Beberapa warga Korsel khawatir insiden tersebut dapat merusak reputasi negara mereka menjelang proses seleksi ini.

"Korsel sudah dikenal sebagai negara maju jadi siapa sangka negara ini tidak bisa memperbaiki masalah seperti serangga atau toilet?" kata profesor bisnis di University of Incheon Hong Ki-yong.

Seorang pejabat di badan pengembangan Saemangeum yang menolak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah tersebut mengatakan, terlalu banyak orang yang terlibat dalam persiapan acara tersebut. Keterlibatan banyak pihak mungkin menyebabkan manajemen yang tidak matang dari aspek-aspek utama seperti sanitasi dan penundaan memperbaiki masalah.

"Kami juga merasa tidak enak dengan apa yang terjadi," kata pejabat itu. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement