Kamis 10 Aug 2023 15:01 WIB

Perdana, Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Jadi Isu Utama Pemilu Selandia Baru

Selandia Baru akan menggelar pemilihan umum pada 14 Oktober.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Selandia Baru
Foto: Annhira.com
Bendera Selandia Baru

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Untuk pertama kalinya dalam beberapa dasawarsa, kebijakan luar negeri dan pertahanan menjadi sorotan elektoral di Selandia Baru. Survei menunjukkan kepedulian publik tentang lingkungan keamanan, sementara partai-partai besar melancarkan berbagai upaya untuk menanggapi ketegasan Cina di Pasifik.

Bagian pertama dari tinjauan pertahanan negara itu, yang dirilis pekan lalu mengatakan, kemampuan militer Selandia Baru telah tertinggal dan isolasi geografisnya tidak lagi menjadi jaminan keamanan. Selandia Baru akan menggelar pemilihan umum pada 14 Oktober.

Baca Juga

Sejauh ini, negara belum memberikan respons terkait upaya untuk meningkatkan keamanan. Para ahli mengatakan, hal tersebut membuat pemilih mempertimbangkan dengan cermat masalah eksternal, yang tidak biasa dalam politik Selandia Baru sejak 1980-an.

 

Sebuah survei yang dilakukan bersamaan dengan tinjauan pertahanan menemukan 40 persen responden menilai kebangkitan Cina sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keselamatan dan keamanan Selandia Baru dalam 10 tahun ke depan.

 

“Kebijakan luar negeri, pertahanan, hubungan kita dengan Pasifik, semua itu akan jauh lebih relevan dan publik akan lebih sadar akan hal itu dibandingkan dengan pemilu lainnya,” kata Josie Pagani, seorang politikus komentator dan pembawa acara debat kebijakan luar negeri pra-pemilihan.  

 

Kampanye politik tetap fokus pada isu-isu domestik seperti kenaikan biaya hidup, kriminalitas, dan ekonomi. Jajak pendapat oleh Ipsos New Zealand Issues Monitor yang dirilis pada Juni menyatakan, 63 persen pemilih mengatakan inflasi dan biaya hidup adalah masalah paling penting dalam pemilu. Sebaliknya, 1 persen pemilih menempatkan pertahanan dan keamanan sebagai prioritas utama.

 

Kehadiran Cina yang semakin meningkat di Indo-Pasifik dan keputusannya untuk menandatangani pakta keamanan dengan Kepulauan Solomon telah membawa tantangan strategis lebih dekat bagi Selandia Baru. Perang di Ukraina juga mengilustrasikan dampak lokal dari geopolitik global, seperti kenaikan harga pangan dan bahan bakar di Selandia Baru.

 

Survei kedua yang dirilis pekan lalu oleh badan intelijen dan keamanan nasional Selandia Baru menemukan, ada peningkatan kekhawatiran tentang pertahanan, keamanan, dan kebijakan luar negeri.

 

Responden mengatakan, mereka menilai sekitar 50 persen kemungkinan negara lain akan mengancam kepentingan negara di Pasifik atau mencampuri urusannya dalam 12 bulan ke depan. Sementara 42 persen menilai, Selandia Baru kemungkinan berada dalam konflik bersenjata 10 tahun ke depan.

 

“Saya pikir kami mungkin sedikit terkejut bahwa orang benar-benar ingin terlibat dalam hal ini,” kata Sekretaris Urusan Luar Negeri dan Perdagangan, Chris Seed, merujuk pada masalah kebijakan luar negeri dan pertahanan.

 

Seorang profesor hubungan internasional dan politik di Universitas Victoria, Jason Young mengatakan, kebijakan luar negeri biasanya tidak menjadi isu utama yang diangkat dalam pemilihan Selandia Baru. Dia mengatakan, pengecualian penting terjadi pada 1980-an, ketika keputusan Partai Buruh untuk menghentikan kunjungan kapal bersenjata nuklir dan bertenaga nuklir, secara efektif mengakhiri aliansi militer Selandia Baru dengan Washington, dan hal ini membantu Partai Buruh memenangkan pemilihan.

 

Sekarang Selandia Baru harus memutuskan bagaimana mendekati pengeluaran pertahanan, hubungannya dengan Amerika Serikat dan China, serta kemitraan AUKUS. Dalam kemitraan AUKUS, Australia, Amerika Serikat, dan Inggris berkolaborasi dalam kapal selam bertenaga nuklir.  

 

Anggaran pertahanan Selandia Baru saat ini mencapai sekitar 1 persen dari produk domestik bruto. Partai Buruh yang berkuasa telah menyarankan pengeluaran pertahanan harus meningkat.

 

“Selandia Baru membutuhkan debat publik penuh tentang ini (kebijakan pertahanan dan keamanan) dan bukan penataan kembali yang didorong oleh pejabat,” kata mantan perdana menteri dan pemimpin Partai Buruh, Helen Clark, dalam unggahan di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, pada 4 Agustus.  

 

Keterlibatan Selandia Baru di AUKUS masih belum dipastikan. Menteri Luar Negeri, Nanaia Mahuta, menyatakan, Selandia Baru tidak ingin mengompromikan posisi anti-nuklirnya.

 

Partai oposisi Nasional belum merilis kebijakan pertahanannya. Partai Nasional mengatakan, perlu lebih banyak detail tentang AUKUS. Juru bicara urusan luar negeri Partai National, Gerry Brownlee, telah menyoroti pentingnya hubungan dengan Cina kendati mungkin ada kontroversi.

 

“Besok, mereka akan menjadi ratusan ribu warga Selandia Baru yang pergi bekerja, yang memiliki ketergantungan pekerjaan mereka pada hubungan perdagangan kita dengan Cina,” kata Brownlee dalam debat kebijakan luar negeri pra-pemilihan.                    

                

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement