Senin 14 Aug 2023 05:55 WIB

Identifikasi Korban Kapal Karam Yunani Teramat Sulit

Dengan kedalaman 4.000 meter, pemulihan kapal atau korbannya tak mungkin dilakukan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Kapal imigran terbalik dan tenggelam pada dini hari 14 Juni yang menjadi salah satu bangkai kapal migran paling mematikan di Mediterania.
Foto:

Bagi sebagian orang, tidak adanya jenazah untuk dikubur berarti mereka masih berharap, betapapun mustahilnya, bahwa orang yang mereka cintai masih hidup. “Dalam hati saya merasa bahwa anak saya hidup, dengan rahmat Tuhan, dan saya tidak percaya bahkan satu persen bahwa anak saya sudah meninggal. Aku bahkan tidak memikirkan ini,” kata Mohamad Diab, yang putranya yang berusia 21 tahun, Abdulrahman, telah hilang sejak pukat tenggelam.

Dalam pencarian selama hampir dua bulan untuk putranya, Diab telah kehabisan pilihan. Dia memberikan sampel DNA melalui Komisi Internasional untuk Orang Hilang, mengirim kerabat ke Yunani.

Diab menghabiskan waktu berjam-jam di teleponnya dan menonton ulang video para penyintas di media sosial. Pengecat rumah kamp pengungsi Palestina di Lebanon di pinggiran Beirut ini berpegang teguh pada satu penemuan yang lemah, momen singkat dalam video segera setelah tenggelam, ketika seorang pria yang mirip putranya dibawa ke rumah sakit di kota Kalamata di selatan Yunani.

Meskipun penyelidikan di rumah sakit dan pihak berwenang Yunani tidak menghasilkan apa-apa, Diab bersikeras bahwa putranya mungkin dalam keadaan koma atau dipenjara dan tidak dapat menghubungi keluarganya. Namun semua korban yang terluka telah lama dibebaskan dari rumah sakit, dengan sembilan korban yang ditangkap sebagai tersangka penyelundup semuanya warga Mesir. Nama Abdulrahman Diab tidak ada di antara mereka.

Pikiran kehilangan putra sulungnya tidak tertahankan. Diab sangat berharap entah bagaimana, di suatu tempat, Abdulrahman ada di luar sana, masih bernafas, masih hidup. “Iman saya kepada Tuhan luar biasa,” katanya.

Bagi Diab, kecocokan DNA yang positif berarti semua harapan hilang bagi Abdulrahman yang tumbuh bersama tiga adik laki-lakinya di kamp Shatila. Saat remaja, dia membantu ayahnya mengecat rumah, tetapi pekerjaan semakin sulit setelah Lebanon tenggelam dalam krisis keuangan besar pada 2019.

Kerabat dan Teman-teman, termasuk paman Abdulrahman yang mengelola supermarket di Jerman, mengambil risiko bepergian ke Eropa. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengikuti mereka, mengatur penerbangan ke Mesir dan kemudian Libya, dan pelayaran berisiko melintasi Mediterania, menggunakan jaringan penyelundup dan perantara.

Mohamad Diab menjual barang-barangnya dan meminjam uang untuk mengumpulkan biaya penyelundupan 7.000 dolar AS. Dia berharap masa depan yang lebih baik untuk putranya. Dia tidak pernah mengira perjalanan itu bisa berakibat fatal.

Sedangkan di Athena, anggota Tim Identifikasi Korban Bencana melanjutkan proses yang lambat untuk menyatukan identitas mayat. Tim masih menerima hasil tes DNA dari calon kerabat di luar negeri.

Tersedia hotline telepon dalam enam bahasa yang disiapkan. Saluran ini akan tetap beroperasi setidaknya selama dua bulan lagi, meskipun panggilan sekarang sudah mulai sedikit dan jarang.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement