Senin 14 Aug 2023 11:21 WIB

Kesepakatan AS-Iran, Langkah Tepat Redakan Ketegangan Global

AS dan Iran mencapai kesepakatan tentatif pada 10 Agustus lalu.

Hubungan Amerika dan Iran (ilustrasi)
Foto: WORLDMATHABA.NET
Hubungan Amerika dan Iran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekan pertama Agustus, dunia dicemaskan dengan langkah Iran yang menyatakan telah melengkapi Angkatan Laut Garda Revolusi dengan drone atau pesawat nirawak serta rudal yang berjarak hingga 1.000 kilometer.

Menurut Kantor Berita Tasnim, juru bicara angkatan bersenjata iran Brigjen Abolfazl Shekarchi menyatakan hal ini membuktikan bahwa negara di kawasan Teluk Persia itu bisa menjaga keamanan di perairan tersebut, tanpa memerlukan kehadiran Amerika Serikat.

Baca Juga

Pemerintah Amerika Serikat sendiri telah mengumumkan bahwa pihaknya siap untuk mengirim lebih banyak pelaut bersenjata dan marinir untuk menjaga berbagai kapal komersial di kawasan perairan Teluk Persia yang beberapa kali mendapat gangguan atau disita militer Iran.

Washington, pada Juli lalu juga telah menyatakan bahwa militernya siap mengirim tambahan jet tempur F-35 dan F-16, serta kapal perang ke kawasan perairan di Timur Tengah.

Penambahan kekuatan dari negara adidaya itu bertujuan untuk mengawasi kawasan perairan yang dilewati oleh sekitar seperlima kapal tanker minyak global.

Tentu saja, saling "adu otot" tersebut meningkatkan tensi di kawasan, serta membuat khawatir apakah Teluk Persia bakal menjadi seperti Ukraina.

Namun, di tengah kecemasan tersebut, tiba-tiba muncul berita bahwa Iran siap untuk memindahkan lima narapidana dari penjara menjadi tahanan rumah.

Kelima narapidana itu adalah warga negara Amerika Serikat keturunan Iran yang telah ditangkap di Negeri Mullah itu karena tuduhan terkait spionase. Kesepakatan itu juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat juga akan membebaskan sejumlah warga Iran dari penjara AS.

Seperti dilaporkan Kantor Berita Associated Press, seorang pejabat Iran di PBB membenarkan kesepakatan itu, yang dinilai merupakan langkah signifikan, setelah Teheran selama berbulan-bulan menawarkan pertukaran tahanan dengan Washington.

Tentu saja, langkah penawaran tersebut ada imbalannya, yaitu agar aset Iran yang dibekukan di Korea Selatan, yang bernilai hingga 7 miliar dolar AS (sekitar Rp107,26 triliun), dapat dicairkan serta diakses oleh pemerintah Iran.

Dikirim ke Qatar

Berdasarkan kesepakatan yang dapat disebut masih tentatif tersebut, AS telah setuju agar Korea Selatan dapat mencairkan aset Iran yang dibekukan, serta uang dari hasil pencairan aset tersebut dapat dikirim ke Qatar.

Uang tersebut diketahui berasal dari utang Korea Selatan terhadap minyak Iran, yang dibeli pihak Korsel sebelum pemerintah AS di bawah Presiden Trump pada 2019 menerapkan sanksi terhadap transaksi seperti itu.

Setelah diterima di Qatar, menurut pihak AS, uang tersebut akan dimasukkan ke dalam akun terbatas yang hanya bisa digunakan untuk membeli keperluan kemanusiaan, seperti obat-obatan dan bahan pangan.

Juru bicara Keamanan Nasional Amerika Serikat John Kirby, sebagaimana dikutip dari Associated Press (AP), menyatakan pihaknya telah bekerja secara ekstensif dengan berbagai pihak agar tidak ada hambatan untuk menyalurkan akun dari Korsel ke Qatar.

Sementara pihak Qatar menyatakan hal ini merupakan pencapaian yang mencerminkan keyakinan berbagai pihak dengan melihat Qatar sebagai mediator yang berposisi netral serta mitra internasional untuk mengatasi perselisihan internasional melalui cara-cara damai.

Mengenai identitas dari lima warga negara AS yang akan dibebaskan dan kini menjalani tahanan rumah tersebut, hanya tiga yang terungkap.

Berdasarkan data dari Reuters, para tahanan yang identitasnya terungkap itu, antara lain adalah Siamak Namazi, pebisnis berusia 51 tahun yang ditahan sejak 2015 oleh Garda Revolusi, saat Siamak Namazi mengunjungi keluarganya di Teheran.

Beberapa bulan kemudian, ayahandanya yang berupaya mengunjunginya di penjara juga ikut ditahan oleh pihak Iran.

Siamak Namazi dan ayahnya, Baquer, divonis pada 2016 dengan hukuman penjara 10 tahun karena tuduhan mata-mata dan bekerja sama dengan pemerintah AS.

Sang ayah, yaitu Baquer Namazi, pada 2018 telah menjadi tahanan rumah karena alasan medis dan sudah meninggalkan Iran pada 2022 untuk mendapat perawatan.

Tahanan kedua yang idenitasnya terungkap adalah Emad Sharghi, juga pebisnis. Pria berusia 58 tahun itu ditahan pada 2018, setahun setelah pindah dari AS ke Iran, saat bekerja untuk perusahaan investasi bidang teknologi "Saravan Holding".

Emad Sharghi dibebaskan dengan uang jaminan setelah delapan bulan, serta Pengadilan Revolusi membebaskannya atas tuduhan mata-mata dan dakwaan lainnya terkait masalah keamanan, tetapi dia tetap dilarang bepergian keluar negeri.

Pada November 2020, dia kembali dipanggil Pengadilan Revolusi yang ternyata menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara karena spionase. Ia awalnya tidak ditahan, tetapi kemudian dimasukkan ke bui karena berupaya kabur dari Iran pada 2021.

Kemudian, tahanan lainnya adalah Morad Tahbaz, pecinta lingkungan berusia 67 tahun yang juga memegang kewarganegaraan Inggris, selain Iran-Amerika Serikat, ditahan pada 2018 dan dihukum penjara 10 tahun pada 2019.

Tuduhan yang disematkan kepada Morad Tahbaz adalah terkait kolusi melawan keamanan nasional Iran serta menjalin kontak dengan pemerintahan musuh, yaitu Amerika Serikat, dengan tujuan memata-matai.

Akhir mimpi buruk

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters, menyatakan langkah menjadikan kelima warga AS menjadi tahanan rumah itu merupakan awal dari akhir mimpi buruk para tahanan tersebut, meski diakui masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membawa mereka kembali ke AS.

Blinken juga menambahkan pihaknya telah berbicara dengan kelima warga negara AS itu yang menyatakan mereka sangat bahagia untuk keluar dari penjara.

Sedangkan Kementerian Urusan Luar Negeri Iran, sebagaimana dikutip kantor berita IRNA, menegaskan bahwa proses memperoleh kembali miliaran dolar aset Iran yang dibekukan secara ilegal oleh Amerika Serikat di Korea Selatan sedang dimulai.

Pernyataan itu menegaskan bahwa Iran akan menggunakan sendiri bagaimana menggunakan aset tersebut bila telah dicairkan, guna memenuhi sejumlah kebutuhan yang diperlukan negara tersebut.

Sedangkan kepala bank sentral Iran Mohammad Reza Farzin, melalui postingan di akun media sosial, menyatakan aset dari Korea Selatan akan digunakan untuk "barang-barang yang tidak disanksi".

Hal itu selaras dengan ucapan juru bicara Keamanan Nasional AS John Kirby yang menyatakan Iran hanya dapat mengakses dana tersebut untuk membeli pangan, obat-obatan, dan peralatan medis yang tidak memiliki penggunaan untuk keperluan militer.

Langkah kesepakatan terkait dengan tahanan dan pencairan aset yang dibekukan karena sanksi itu dinilai juga akan memberikan dampak positif kepada ketegangan adu kekuatan di Teluk Persia, yang benar-benar mencemaskan banyak pihak, terlebih dengan masih berkobarnya konflik Rusia-Ukraina saat ini.

Henry Rome, analis di lembaga wadah pemikir Washington Institute for Near East Policy, seperti dikutip Reuters, percaya bahwa langkah itu dapat meredakan ketegangan yang meningkat, terutama sejak AS di bawah pemerintahan Presiden Trump terdahulu, menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015.

Namun, sejumlah pihak, seperti dilaporkan AP, menyatakan kesepakatan antara Iran dan AS itu tidak akan meredakan ketegangan karena masih belum ada kejelasan mengenai kelanjutan kesepakatan nuklir 2015, tetap besarnya ambisi bom atom Iran, serta masih kerap adanya penyerangan dan penyitaan kapal di Teluk Persia.

Setiap orang memang berhak memiliki pendapat dan tentu saja kesepakatan antara AS dan Iran tersebut pasti akan menimbulkan pro-kontra, tetapi langkah itu sedikit banyak sangat berarti untuk menurunkan tensi ketegangan global, yang saat ini masih labil dengan berbagai konflik yang terus membakar di sejumlah lokasi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement