REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi mengusulkan memperbarui bantuan keuangan pada Otoritas Palestina (PA). Pengamat berspekulasi usulan itu bisa menjadi taktik untuk membujuk PA memberikan persetujuan agar Arab Saudi dapat membuat kesepakatan menormalisasi hubungan dengan Israel.
Pada Rabu (30/8/2023), surat kabar Amerika Serikat (AS) Wall Street Journal (WSJ) melaporkan seorang pejabat Saudi yang tidak disebutkan namanya mengatakan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, menawarkan untuk memperbarui bantuan kepada PA. Tawaran ini disampaikan saat Presiden Palestina Mahmoud Abbas berkunjung ke Arab Saudi bulan April lalu.
Bantuan tersebut dibekukan pada tahun 2016 setelah skandal korupsi dan suap Otoritas Palestina. WSJ mengutip pejabat Arab Saudi dan mantan pejabat Palestina yang diberi pengarahan mengenai perundingan tersebut.
Dikutip dari Middle East Monitor, Kamis (31/8/2023), WSJ melaporkan Putra Mahkota menawarkan untuk memperbarui dana tersebut dengan syarat Abbas harus berhasil mengendalikan kelompok perlawanan Palestina di Tepi Barat dan menguasai kembali wilayah kekuasaan Otoritas Palestina di luar Garis Hijau.
Meskipun Mohammed bin Salman dilaporkan tidak mengungkapkan alasan pertimbangannya memperbarui bantuan tersebut dan tidak mengungkapkan adanya kesepakatan normalisasi dengan Israel. Ia memberi jaminan pada Abbas setiap potensi kesepakatan dengan Israel tidak akan merugikan upaya Palestina untuk mencapai status kenegaraan.
Namun, surat kabar tersebut juga mengutip sumber-sumber Arab Saudi yang mengatakan tawaran untuk memperbarui bantuan tidak secara langsung terkait dengan kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel. Namun Riyadh berharap dengan bantuan ini Otoritas Palestina dapat memberikan dukungannya pada kesepakatan normalisasi.
Menurut sumber-sumber Arab Saudi yang dikutip WSJ, Riyadh memandang dukungan Otoritas Palestina sebagai komponen penting untuk menstabilkan potensi konsekuensi dan reaksi balik terhadap suatu perjanjian dengan Israel. Selain itu juga akan melegitimasinya.
Legitimasi juga bertujuan untuk mencegah atau membantah tuduhan Arab Saudi mengabaikan upaya pembentukan negara Palestina dengan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Terlepas dari strategi yang dilaporkan WSJ, terdapat spekulasi apakah taktik ini akan berhasil dalam mengurangi reaksi dari masyarakat Arab Saudi dan negara-negara Arab dan Muslim lain. Sebab legitimasi PA di kalangan masyarakat Palestina dan negara-negara lain semakin rendah.
Terutama karena skandal korupsi, kerja sama dan koordinasi dengan pendudukan Israel, serta penolakan untuk menyelenggarakan pemilu Palestina selama hampir dua dekade.
Arab Saudi selalu bersikeras hak-hak dan kenegaraan Palestina menjadi syarat utama untuk kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel. Desakan tersebut memuncak pada bulan ini ketika AS menekankan kepada Israel untuk memberikan sejumlah hak dan konsesi kepada Palestina jika mereka ingin membuat kesepakatan dengan Arab Saudi.
Meskipun demikian, para ekstremis di pemerintahan Israel mengabaikan peringatan tersebut. Pada Senin (28/8/2023) lalu Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich mengatakan Israel tidak akan memberikan konsesi kepada Palestina sebagai bagian dari upaya normalisasi.