REPUBLIKA.CO.ID, MADRID – Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan, kudeta militer di Gabon tidak bisa dibandingkan dengan krisis di Niger. Sebab Borrell menilai, kudeta di Gabon terjadi karena Presiden Ali Bongo Ondimba memenangkan pemilihan presiden (pilpres) lewat cara yang culas.
“Tentu saja, kudeta militer bukanlah solusi, tapi kita tidak boleh lupa bahwa di Gabon telah terjadi pemilu yang penuh dengan ketidakberesan,” ungkap Borrell sesaat sebelum menghadiri pertemuan bersama para menteri luar negeri negara anggota Uni Eropa di Toledo, Spanyol, untuk membahas krisis politik di Niger, Kamis (31/8/2023).
Borrell menekankan, pemilu yang dicurangi bisa berarti “kudeta institusional” sipil. “Situasi di Niger dan Gabon sama sekali tidak setara. Di Niger, presiden (yang dikudeta) adalah presiden yang dipilih secara demokratis. Di Gabon, beberapa jam sebelum kudeta militer, terjadi kudeta institusional, karena pemilu dicuri,” katanya saat berbicara di jaringan berita global CNN.
“Saya tidak bisa mengatakan bahwa Gabon adalah negara demokrasi penuh; dengan sebuah keluarga yang memerintah negara ini selama 50 tahun terakhir,” tambah Borrell.
Pada Rabu (30/8/2023) lalu sekelompok perwira tinggi militer di Gabon mengumumkan dalam siaran langsung di televisi nasional bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan negara tersebut dari Presiden Ali Bongo Ondimba. Militer pun menyatakan membatalkan hasil pemilihan presiden dan parlemen yang digelar pada tanggal 26 Agustus 2023.
Dalam pemilihan presiden, Ondimba memenangkan masa jabatan ketiganya dengan memperoleh 64,27 persen suara. Namun terdapat laporan tentang kecurangan di balik kemenangannya tersebut. Meski mengecam kudeta militer di Gabon, Amerika Serikat (AS) dan Inggris tetap menyuarakan keprihatinan atas kecurangan pemilu di negara tersebut.
Ondimba telah menjabat sebagai presiden Gabon sejak 2009. Sebelumnya Gabon dipimpin oleh ayah Ondimba, yakni Omar Bongo. Bongo memerintah Gabon selama 42 tahun, yakni sejak 1967 hingga 2009.
Gabon merupakan negara kedua di Afrika yang mengalami kudeta militer tahun ini. Pada 26 Juli 2023 lalu, sekelompok perwira militer Niger juga mengumumkan secara langsung di televisi bahwa mereka telah menggulingkan pemerintahan Presiden Mohamed Bazoum. Selain itu mereka menyatakan membubarkan konstitusi, membekukan semua institusi, dan menutup perbatasan negara.
Kudeta militer di Niger telah mengundang kecaman dari negara-negara Barat, termasuk Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS). ECOWAS bahkan sempat mengancam akan mengerahkan pasukan untuk memulihkan demokrasi di Niger. Namun militer Niger tak menggubris ancaman tersebut. Junta militer Niger mengatakan akan melakukan penuntutan terhadap Presiden Mohamed Bazoum. Bazoum bakal didakwa melakukan pengkhianatan tingkat tinggi serta merusak keamanan internal dan eksternal negara tersebut.