Rabu 06 Sep 2023 08:36 WIB

Sekolah Prancis Pulangkan Siswi Muslim yang Tolak Lepas Abaya

67 siswi yang menggunakan abaya menolak mengganti bajunya lalu dipulangkan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Sekolah negeri Prancis telah memulangkan puluhan siswi karena menolak melepas abaya mereka pada hari pertama tahun ajaran baru.
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Sekolah negeri Prancis telah memulangkan puluhan siswi karena menolak melepas abaya mereka pada hari pertama tahun ajaran baru.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sekolah negeri Prancis telah memulangkan puluhan siswi karena menolak melepas abaya mereka pada hari pertama tahun ajaran baru. Abaya adalah jubah panjang dan longgar yang dikenakan oleh sebagian perempuan Muslim.

 

Baca Juga

"Menentang larangan penggunaan pakaian yang dianggap sebagai simbol agama, hampir 300 anak perempuan datang (ke sekolah) pada Senin pagi dengan mengenakan abaya," kata Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal kepada penyiar BFM pada Selasa (5/9/2023).

 

Attal mengatakan, sebagian besar siswa setuju untuk mengganti abaya mereka. Namun 67 orang menolak dan dipulangkan.

 

Attal mengatakan, siswi Muslim yang dipulangkan diberikan surat yang ditujukan kepada keluarga mereka. Surat itu mengatakan bahwa sekularisme bukanlah sebuah kendala, melainkan sebuah kebebasan. Jika mereka muncul lagi di sekolah dengan mengenakan abaya, maka akan terjadi dialog baru.

 

Dalam sebuah video yang diunggah oleh Aljazirah di platform media sosial X, sejumlah pengawas berjaga di depan sekolah untuk melakukan razia abaya. Para siswi Muslim melepas jlbab mereka sebelum masuk ke sekolah. Banyak siswi Muslim yang masih memakai abaya ke sekolah. Pengawas tersebut tampak berbincang dengan siswi Muslim yang memakai abaya ke sekolah.

 

Bulan lalu pemerintah mengumumkan pelarangan abaya di sekolah. Pemerintah Prancis mengatakan, pemakaian abaya melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan. Sebelumnya sekolah sudah melarang jilbab, dengan alasan bahwa jilbab merupakan bentuk afiliasi keagamaan.

 

Larangan ini menggembirakan kelompok sayap kanan. Namun kelompok sayap kiri berargumentasi bahwa tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap kebebasan sipil.

 

Attal mengatakan, dia mendukung uji coba seragam sekolah atau aturan berpakaian di tengah perdebatan mengenai larangan tersebut. Seragam tidak diwajibkan di sekolah-sekolah Prancis sejak 1968 tetapi sering kali menjadi agenda politik, yang didorong oleh politisi konservatif dan sayap kanan. Attal mengatakan, akhir tahun ini pemerintah akan melakukan uji coba seragam dengan sekolah mana pun yang setuju untuk berpartisipasi.

 

“Menurut saya seragam sekolah bukanlah solusi ajaib yang menyelesaikan semua masalah terkait pelecehan, kesenjangan sosial, atau sekularisme," kata Attal.

 

Attal menganggap abaya sebagai simbol agama yang melanggar sekularisme Prancis. Sejak 2004 Prancis melarang pemakaian simbol keagamaan di sekolah, termasuk jilbab, kippa, dan salib.

 

Pada Senin (4/9/2023) Presiden Emmanuel Macron menyatakan dukungannya terhadap larangan abaya. Dia mengatakan, ada “minoritas” di Prancis yang membajak agama dan menantang republik dan sekularisme. Macron mengatakan, hal itu mengarah pada konsekuensi terburuk seperti pembunuhan seorang guru, Samuel Paty tiga tahun lalu karena memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad di kelas pendidikan kewarganegaraan.

 

“Kami tidak bisa bertindak seolah-olah serangan teroris, pembunuhan Samuel Paty, tidak terjadi,” ujar Macron dalam wawancara dengan saluran YouTube, HugoDecrypte.

 

Sebuah asosiasi yang mewakili umat Islam telah mengajukan mosi ke Dewan Negara atas perintah yang melarang larangan abaya dan qamis yaitu pakaian yang setara untuk pria. Mosi Aksi untuk Hak-Hak Umat Islam (ADM) diperiksa pada Selasa (5/9/2023) malam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement