Kamis 14 Sep 2023 09:48 WIB

Pakar Hak Asasi PBB Desak AS Tambah Sanksi ke Junta Militer Myanmar

AS didesak bekerja sama dengan negara lain memblokir akses junta terhadap senjata.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Myanmar (ilustrasi).
Foto: Tangkapan Layar/VOA
Bendera Myanmar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Myanmar mendorong Amerika Serikat (AS) memperketat sanksinya pada penguasa militer negara itu. Termasuk sumber utama pendapatan mereka yakni perusahaan gas dan minyak negara.

Pelapor Khusus PBB Tom Andrews yang juga mantan anggota Kongres AS mengatakan penting bagi Washington untuk setidaknya mempertahankan bantuan kemanusiaan pada korban junta baik di dalam dan luar Myanmar.

Baca Juga

Di sidang Komisi Hak Asasi Manusia Tom Lantos di Kongres AS, Andrew mengatakan ia “terkejut” dengan laporan beberapa donor, termasuk AS, mungkin mengurangi dukungan bagi pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Ia menambahkan Rencana Respons Bersama yang mencakup jatah makanan untuk anak-anak Rohingya di Bangladesh hanya 32 persen yang didanai pada tahun ini.

Andrews memuji Washington karena menjatuhkan sanksi terhadap Bank Perdagangan Luar Negeri Myanmar dan Bank Investasi dan Komersial Myanmar pada bulan Juni. Namun menurutnya masih banyak yang perlu dilakukan.

“Kita perlu menerapkan lebih banyak sanksi, saya mendesak AS untuk bergabung dengan Uni Eropa dan segera menjatuhkan sanksi terhadap satu-satunya sumber pendapatan terbesar junta, Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar,” kata Andrews, Rabu (13/9/2023).

“Jika Anda dapat menghentikan pendanaan, Anda dapat memotong kemampuan mereka untuk melanjutkan kekejaman ini,” katanya mengacu pada kematian warga sipil di tangan militer .

Andrews juga mendesak Washington untuk bekerja sama dengan negara lain memblokir akses junta terhadap senjata. Bulan lalu, Washington memperluas sanksinya terhadap Myanmar dengan memasukkan perusahaan atau individu asing yang membantu junta mendapatkan bahan bakar jet yang digunakan untuk melancarkan serangan udara.

AS juga memperkirakan militer Myanmar telah membunuh lebih dari 3.900 warga sipil sejak mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 2021.

Pada bulan Januari, AS menjatuhkan sanksi pada direktur pelaksana dan wakil direktur pelaksana Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar. Namun belum mengambil tindakan lebih jauh terhadap perusahaan tersebut, meskipun ada desakan dari kelompok hak asasi manusia dan gerakan perlawanan di Myanmar.

Para pejabat militer Myanmar meremehkan dampak sanksi dan mengatakan serangan udara mereka menyasar pemberontak. Dalam laporannya bulan Mei lalu Andrews mengatakan sejak kudeta militer Myanmar mengimpor setidaknya 1 miliar dolar AS senjata dan bahan lainnya.

Ia juga menuduh Rusia dan Cina membantu kampanye militer Myanmar untuk menghancurkan oposisinya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement