Rabu 20 Sep 2023 15:08 WIB

PBB Laporkan Penyiksaan dan Kematian Tahanan di Afghanistan

Taliban menguasai kepolisian dan intelijen sejak berkuasa tahun 2021.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
 Penjara di Afghanistan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Penjara di Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- PBB mencatat 1.600 insiden pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Taliban. Dalam laporannya PBB mengatakan hampir setengahnya adalah penyiksaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan polisi dan agen intelijen.

Misi PBB untuk Afghanistan (UNAMA) mengatakan selama 19 bulan yang berakhir pada Juli 2021 sebanyak 18 orang juta meninggal dunia di penjara dan tahanan polisi dan intelijen. Taliban menguasai kepolisian dan intelijen sejak berkuasa tahun 2021.

Baca Juga

"Dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan atau informasi lainnya, para tahanan mengalami rasa sakit dan penderitaan yang sangat buruk, melalui pemukulan, sengatan listrik, dipaksa menahan panas, dipaksa dalam posisi yang menyakitkan dan dipaksa menelan air, serta ditutup matanya dan diancam," ujar UNAMA dalam sebuah pernyataan, Rabu (20/9/2023).

Para tahanan juga tidak diberitahu alasan penangkapannya, tidak dapat mengakses pengacara dan perawatan medis yang memadai di dalam tahanan.

Sekitar satu dari sepuluh pelanggaran dilakukan terhadap perempuan. Jurnalis dan anggota masyarakat sipil menyumbang hampir seperempat dari korban pelanggaran.

Dalam sebuah tanggapan yang diterbitkan bersama laporan tersebut, kementerian luar negeri pemerintah Taliban mengatakan jumlah pelanggaran yang dilaporkan tidak akurat, terutama jumlah jurnalis atau advokat masyarakat sipil yang menjadi korban.

Kementerian tersebut mengatakan pihak berwenang dan peradilan bekerja untuk meningkatkan pengawasan dan memastikan kepatuhan terhadap dekrit pemimpin tertinggi yang melarang penyiksaan atau pemaksaan pengakuan.

PBB mengatakan dekrit tersebut, dan PBB mengizinkan mengakses ke penjara-penjara tersebut, merupakan "tanda-tanda yang menggembirakan." Tetapi PBB mendesak pemerintah Taliban untuk berbuat lebih banyak untuk memperbaiki situasi.

"Kasus-kasus yang didokumentasikan ini menyoroti perlunya semua pihak segera bertindak," kata Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan dan Kepala UNAMA, Roza Otunbayeva.

"Ada kebutuhan mendesak untuk mempertimbangkan lebih banyak keterlibatan dengan pihak berwenang de facto untuk mengakhiri praktik-praktik ini," tambahnya.

Sebelumnya dilaporkan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi mengatakan jangan politik menghalangi solidaritas untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran di Afghanistan. "Karena di atas politik, masih ada kemanusiaan (humanity),” ujar Retno saat menghadiri pertemuan High-Level Event on Global Solidarity with Afghan Women and Girls di Markas besar PBB di New York, AS (19/9/2023).

“Kita semua berada di sini untuk satu tujuan, yaitu untuk menunjukkan solidaritas kita untuk perempuan dan anak-anak perempuan Afghanistan. Solidaritas artinya empati dan dukungan nyata”, kata Retno dalam pidatonya.

Ia menambahkan bahwa situasi perempuan dan anak-anak perempuan di Afghanistan sudah sangat mengkhawatirkan. “Apakah kita akan membiarkan politik menghalangi kita untuk membantu Afghanistan? Atau kita akan ulurkan tangan, bagaimanapun kondisi politik yang ada?” katanya. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement