REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Putra raja Thailand yang terasing Vacharaesorn Vivacharawongse tiba-tiba menyatakan keyakinannya, bahwa diskusi terbuka tentang monarki negara itu harus diizinkan. Pernyataan ini muncul sebagai penolakan terhadap sikap anti-pemerintahan dalam hukum pencemaran nama baik.
“Saya mencintai dan menghargai monarki, tetapi saya yakin lebih baik mengetahui daripada tidak mengetahui. Setiap orang mempunyai pendapatnya masing-masing berdasarkan pengalamannya masing-masing," ujar Vacharaesorn.
Vacharaesorn merupakan salah satu dari lima putra raja. Dia mengunggah pendapatnya di Facebook setelah menghadiri pameran foto di New York tentang orang-orang yang didakwa berdasarkan Undang-Undang (UU) Pasal 112 KUHP Thailand.
UU yang disebut dikenal dengan sebutan lese majeste ini membuat penghinaan terhadap raja, keluarga dekatnya, dan perwakilannya dapat dihukum hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran. "Tidak mendengarkan mereka tidak membuat sudut pandang atau opini mereka hilang,” ujar Vacharaesorn yang bekerja di sebuah firma hukum di New York.
“Ini cerita lain apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan mereka. Bicaralah satu sama lain dengan alasan," ujarnya.
Pernyataan Vacharaesorn tentang Pasal 112 diposting setelah foto dirinya menghadiri pameran di Columbia University pada pada 18 September. Penyelenggara kegiatan Pavin Chachavalpongpun merupakan akademisi Thailand dan kritikus pedas terhadap masyarakat royalis Thailand yang tinggal di pengasingan.
Vacharaesorn adalah satu dari empat putra Raja Maha Vajiralongkorn dari istri keduanya Sujarinee Vivacharawongse yang merupakan mantan aktris. Pada 1996, putra mahkota menceraikan Sujarinee, yang pindah ke luar negeri bersama anak-anaknya.
Putri bungsu pasangan itu diambil kembali oleh keluarga kerajaan dan diberi gelar Putri Sirivannavari Nariratana. Hanya saja keempat putranya tetap terasing dan tidak memiliki gelar kerajaan resmi. Sedangkan Raja Vajiralongkorn telah menikah empat kali dan memiliki tujuh anak, tetapi belum menunjuk ahli waris resmi.
Pria yang kini berusia 42 tahun itu telah lama menghilang dari perhatian publik. Namun dia mulai menarik perhatian besar pada Agustus ketika secara mengejutkan kembali ke Thailand.
Vacharaesorn mengunjungi sebuah organisasi amal dan beberapa kuil Buddha untuk berpartisipasi dalam doa dan persembahan. Sebelum berangkat, dia berharap Thailand akan menjadi negara yang penuh harapan.
"Masyarakat Thailand akan menghormati satu sama lain, mendengarkan satu sama lain, tidak peduli siapa kita," ujarnya ketika itu.
UU lese majeste sangat kontroversial. Aturan ini tidak hanya memberikan hukuman yang berat tetapi juga karena siapa pun, tidak hanya keluarga kerajaan, dapat mengajukan pengaduan mengenai dugaan pelanggaran kepada polisi.
Para pengkritik UU tersebut mengatakan, hal ini sering digunakan untuk meredam perbedaan pendapat politik. Contoh saja saat penangkapan pengunjuk rasa pro-demokrasi oleh pemerintahan mantan perdana menteri Prayuth Chan-ocha. Sedangkan bagi para pendukung UU itu mengatakan, monarki adalah landasan identitas Thailand dan tidak boleh disentuh.
Menurut kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, sekitar 257 orang telah didakwa dengan UU lese majeste dalam 278 kasus sejak November 2020, termasuk setidaknya 20 anak di bawah umur.
Keberatan keras kaum royalis terhadap reformasi monarki menjadi sorotan setelah pemilu Thailand pada Mei. Move Forward Party yang progresif memenangkan kursi terbanyak tetapi tidak diberi kekuasaan oleh Parlemen.
Anggota konservatif Senat yang dibentuk oleh militer melakukan pemungutan suara bersama dengan DPR untuk menghalangi pemimpin partai Pita Limjaroenrat menjadi perdana menteri. Penghalangan ini dilakukan karena partai tersebut ingin melakukan reformasi ringan terhadap UU lese majeste.