Senin 09 Oct 2023 11:54 WIB

Puluhan Ribu Pengungsi Putus Asa Menuju Daratan Eropa

Para pengungsi ini berasal dari seluruh Afrika yang melewati Maroko.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Puluhan ribu imigran mencoba menyeberangi lautan menuju Eropa. ilustrasi
Foto: AP
Puluhan ribu imigran mencoba menyeberangi lautan menuju Eropa. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Hampir 3.000 orang yang tewas dalam gempa bumi di Maroko bulan lalu, telah memfokuskan kembali perhatian dunia pada negara kerajaan ini, ketika eksodus besar-besaran terus berlanjut dari mereka yang akan bermigrasi ke Eropa. Para pengungsi ini berasal dari seluruh Afrika yang melewati Maroko untuk selanjutnya menuju Eropa mencari kehidupan baru di sana.

Para pencari suaka yang memulai perjalanan mereka dari Maroko, tidak seperti mereka yang berangkat dari negara tetangga di Afrika Utara, Tunisia dan Libya, memiliki sejumlah rute yang dapat mereka tempuh menuju Eropa. 

Baca Juga

Lebih dari 25.000 pengungsi dan migran telah meninggalkan Maroko tahun ini sejauh ini - lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang meninggalkan Tunisia dan Libya, tetapi tetap signifikan. Setidaknya 600 orang, mungkin lebih banyak lagi, telah meninggal saat mencoba menyeberang lautan.

Para pencari suaka, orang Maroko atau orang-orang yang transit di negara Afrika Utara itu dari Afrika Barat. Semuanya berisiko menambah jumlah korban jiwa yang terus bertambah karena impian kehidupan baru di Eropa. 

Jalur Melalui Laut

Meskipun ombak tinggi dan bebatuan karang ganas menanti mereka, ribuan pengungsi berkumpul di kota-kota pesisir Maroko seperti Agadir untuk menaiki perahu menuju Kepulauan Canary, sebuah gugusan pulau milik Spanyol di lepas pantai Atlantik Afrika. Kapal karam dan tenggelam adalah hal yang biasa ditemui di perairan ini.

Pada bulan Agustus, Kepulauan Canary mengatakan bahwa mereka kewalahan menerima kedatangan pengungsi, sejumlah 2.692 orang pada bulan itu. Jumlah ini dua kali lebih banyak dari periode yang sama tahun lalu.

Sementara yang lainnya mencari perairan Mediterania yang lebih tenang, namun dengan pengawasan yang lebih baik untuk menyeberang. Para penyelundup bahkan menggunakan jet ski untuk mengangkut penumpang mereka ke Gibraltar, yang dapat dilihat dari Maroko pada hari yang cerah.

Antara bulan Januari dan Juni tahun ini, LSM Caminando Fronteras mengatakan, sekitar 951 orang tewas saat mencoba mencapai Kepulauan Canary atau Semenanjung Iberia dari Afrika Utara.

"Di sana upaya ini lebih merupakan bisnis," kata Carmen Gonzalez Enriquez, analis senior di Elcano Royal Institute Spanyol, kepada Al Jazeera, membandingkan penyelundupan Maroko dengan operasi migrasi jutaan dolar yang dilakukan oleh milisi Libya.

"Kami melihat jaringan lokal yang sangat kecil," tambahnya. "Semua rute memiliki risiko yang luar biasa, tetapi Atlantik adalah yang terburuk."

Sebuah komite gabungan antara Spanyol, Maroko dan Uni Eropa telah menyatakan penyesalannya atas setiap kematian yang terjadi. Namun, terlepas dari upaya terbaik mereka untuk menghentikannya, para pengungsi tetap melakukan perjalanan berbahaya itu.

Selain itu, LSM-LSM yang menyelamatkan kapal-kapal pengungsi yang mengalami kesulitan, menuduh berbagai otoritas Eropa mengabaikan atau mengulur-ulur tanggapan darurat terhadap panggilan darurat.

Pada bulan Mei, sebuah perahu dengan 500 pencari suaka di dalamnya mengalami kesulitan di dekat Malta. Tetapi pihak berwenang di sana tidak menanggapi laporan dari sebuah LSM yang mengetahui lokasi perahu yang sedang bermasalah tersebut. 

Ketika LSM tersebut mendekati penjaga pantai Italia, mereka diberitahu bahwa perahu tersebut berada di wilayah yurisdiksi Malta. Cara ini adalah sebuah taktik yang umum dilakukan untuk menghindari penyelamatan, kata LSM.

Di Spanyol, Caminando berbicara tentang pemberian lokasi satelit dari kapal-kapal yang mengalami kesulitan kepada otoritas perbatasan Spanyol dan Maroko. Namun tidak direspon dan para penumpang, termasuk perempuan dan anak-anak, dibiarkan tenggelam. 

Dengan kata lain, kata pendiri LSM tersebut, Helena Maleno, beberapa negara Eropa seperti membiarkan orang mati di laut. Dan ini telah menjadi strategi untuk mengendalikan orang-orang yang sedang bergerak untuk bermigrasi.

Jalur Darat

Perjalanan melalui laut ke Eropa bisa berbahaya dan akses melalui darat bisa sama buruknya. Pada 24 Juni tahun lalu, hari yang masih disebut sebagai pembantaian Melilla, 37 pengungsi dan migran terbunuh dalam konfrontasi di Melilla, sebuah wilayah Spanyol di Maroko, menurut Amnesty International.

Putus asa untuk mencapai "Eropa", mereka menyerbu pagar dari sisi Maroko dan dipukul mundur oleh polisi Spanyol dan Maroko. Tujuh puluh enam orang masih hilang atas insiden itu. Ini mengindikasikan jumlah korban tewas jauh lebih besar.

Menurut Human Rights Watch, tidak ada rute yang aman dan legal untuk mengakses Melilla dan Ceuta, wilayah Spanyol lainnya di Maroko. Keduanya telah berevolusi selama beberapa dekade terakhir dari wilayah yang nyaris tanpa batas menjadi kota-kota berbenteng yang perbatasannya dipatroli oleh polisi Spanyol dan Maroko yang bersenjata.

"Di Rif (wilayah Maroko yang mengelilingi daerah kantong Spanyol), para migran tak beraturan tinggal di kamp-kamp yang cukup buruk, menunggu untuk dibawa ke Melilla atau Ceuta dan akhirnya ke Eropa," kata Ahlam Chemlali, seorang spesialis migrasi dan dosen tamu di Yale dan Universitas California, kepada Aljazirah.

Di tenda-tenda kumuh yang tersebar di lereng gunung di sekitar Melilla, para pengungsi dan migran dari seluruh Afrika Barat mencari nafkah di lingkungan yang tidak bersahabat sembari menunggu giliran untuk melintasi pagar perbatasan.

Namun demikian, terlepas dari kesulitan yang luar biasa, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan jera dengan upaya Uni Eropa untuk mengusir mereka.

Pada bulan November, lembaga penyiaran Amerika, NPR, melaporkan sebuah operasi aktif di kota Nador, Maroko, untuk mengusir para pengungsi dan migran yang sebagian besar berkulit hitam.

Para pejabat dilaporkan menekan para pemilik toko dan pengusaha hotel untuk menolak melayani para pengungsi dan migran. Namun, kata laporan itu, mereka terus berdatangan, kadang dengan pakaian compang-camping atau terbakar, kadang tanpa sepatu. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement