Selasa 10 Oct 2023 09:07 WIB

Warga Israel Kecewa dengan Lambatnya Respons Militer

Serangan Hamas akhir pekan lalu membuat warga Israel merasa diabaikan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga melihat dampak dari serangan roket dari Gaza di Tel Aviv, Israel, Sabtu (7/10/2023).
Foto: AP Photo/Moti Milrod
Warga melihat dampak dari serangan roket dari Gaza di Tel Aviv, Israel, Sabtu (7/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Warga Israel kecewa dengan lambatnya respons militer ketika Hamas melancarkan serangan mengejutkan melalui darat, laut, dan udara pada Sabtu (7/10/2023). Infiltrasi ini membuat tentara Israel yang berteknologi tinggi sama sekali tidak menyadari, dan mengejutkan negara yang bangga dengan kehebatan militernya.

Hal yang lebih mengejutkan bagi Israel adalah lambatnya respons militer. Ribuan orang di Israel selatan tiba-tiba mendapati diri mereka terkepung, teriakan minta tolong mereka tidak terjawab selama berjam-jam.

Baca Juga

Mereka bersembunyi di dalam rumah dan ruang aman ketika para militan menembakkan peluru, membakar rumah-rumah dan melemparkan granat. Warga Israel dengan putus asa beralih ke media sosial, jurnalis dan teman-teman memohon kepada tentara untuk menyelamatkan mereka.

Serangan yang terjadi pada akhir pekan dan respons militer menimbulkan perasaan baru yang meresahkan, yaitu kerentanan dan pengabaian. Ribuan keluarga tidak mengetahui apakah orang yang mereka cintai masih hidup atau telah ditawan ke Gaza. 

Pada puncak kekerasan, tidak ada seorang pun yang dapat dimintai petunjuk atau informasi.  Pusat kontak akhirnya didirikan, namun fokusnya adalah mengumpulkan informasi dari keluarga ketimbang menawarkan bantuan.

Enam anggota keluarga Jonathan Silver hilang. Dia meminta bantuan pihak berwenang.  Setidaknya tiga kerabatnya ditawan di Gaza, dan yang lainnya diperkirakan juga berada di sana.  Dia melihat video sepupu dan dua anaknya disandera dari kibbutz mereka, Nir Oz. Namun pihak keluarga belum menerima informasi.

“Kami mencoba menjangkau semua orang , komando dalam negeri, polisi, teman, kenalan, orang-orang di kibbutz. Dan selama berjam-jam, tidak ada orang yang bisa diajak bicara," ujar Silver.

Silver sangat prihatin terhadap bibinya, yang mengidap penyakit Parkinson dan membutuhkan pengobatannya. Silver mengaku frustrasi, namun ia juga mengatakan sekarang bukan saatnya mengkritik terlalu dalam.

“Saya punya banyak pertanyaan dan banyak hal yang ingin saya katakan.  Hari pembalasan akan tiba, namun sekarang saya lebih memilih untuk berdiri di samping tentara," ujar Silver.

Di Israel, dinas militer adalah wajib bagi sebagian besar pria dan wanita Yahudi.  Di mata banyak warga negara, hal ini merupakan perekat yang menyatukan negara ini di kawasan. Israel diakui di seluruh dunia atas kemajuan teknologi dan kemampuan pengumpulan intelijennya. Warga Israel sulit memahami kenapa intelijen Israel bobol atas serangan mengejutkan Hamas.

Bagi Merav Leshem Gonen, perasaan tidak berdaya mencengkeramnya ketika putrinya menelepon karena panik dari sebuah festival musik yang diserang. 'Mobil ditembak, kami tidak bisa mengemudi, semua orang di sini terluka,” ujar Gonen menceritakan apa yang dikatakan putrinya.

“Dia berbicara kepada saya dan berkata, 'Bu, bantu kami, kami tidak tahu harus berbuat apa.' Dan saya berkata, 'Kami mencintaimu, dan itu tidak masalah.  Kami mencoba mencari cara untuk membawa kamu keluar dari sana. Kami mengirim orang'," kata Gonen dalam konferensi pers di luar Tel Aviv.

"Dan saya tahu saya berbohong karena kami tidak punya jawaban, dan kami tidak punya jawaban apa pun. Tidak ada yang punya," ujar Gonen.

Jurnalis Amir Tibon mempunyai nasib baik yang tidak dimiliki banyak orang lain. Ketika tentara berjuang untuk berkumpul kembali, ayahnya yang berusia 62 tahun, seorang pensiunan jenderal, ikut menerobos.  Noam Tibon berangkat dari rumahnya di Tel Aviv ke Nahal Oz, sebuah kibbutz di mana putranya, istrinya, dan dua putrinya yang masih kecil bersembunyi di ruang aman. Dalam perjalanan, dia terhubung dengan pensiunan jenderal lainnya dan sekelompok pasukan komando.

Setelah baku tembak dengan militan di sepanjang jalan, Tibon membebaskan putra dan keluarganya. Sementara puluhan orang lainnya di Nahal Oz tidak selamat.

“Ketentuan kontrak antara kami dan negara selalu jelas. Kami melindungi perbatasan, dan negara melindungi kami,” ujar Amir Tibon dalam artikel yang menceritakan kembali penyelamatan tersebut kepada surat kabar Haaretz.

“Kami memenuhi kesepakatan kami dengan heroik.  Bagi semua teman dan tetangga kita yang tercinta, pada hari Sabtu tanggal 7 Oktober yang kelam ini, negara Israel tidak memenuhi bagiannya," kata Tibon.

Maayan Zin mengatakan, dia mengetahui kedua putrinya telah diculik ketika seorang kerabat mengirim fotonya dari grup Telegram, yang menunjukkan mereka sedang duduk di kasur di penangkaran. Dia termasuk di antara puluhan keluarga yang putus asa.

Dia mengatakan kurangnya dukungan dari pemerintah Israel terhadap orang yang ditahan di Gaza. “Tidak ada informasi. Tidak ada yang menghubungi saya sejak kemarin. Bukan tentara, bukan pemerintah, bukan polisi,” ujar Zin.

Awalnya, dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di gambar.  “Saya pikir itu hasil Photoshop,” kata Zin.

Namun, video yang dia temukan di media sosial menegaskan ketakutan terburuknya.  Dafna (15 tahun) dan Ella (8 tahun) terlihat menangis dan ketakutan.  Ayah mereka, mantan suaminya, terlihat dibawa melintasi perbatasan menuju Gaza, kakinya mengalami pendarahan hebat.

“Bawa saja putriku pulang. Bawa semua orang pulang," ujar Zin.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement