REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Tayyip Erdogan pada hari Selasa (10/10/2023), mengkritik Amerika Serikat yang memindahkan kelompok kapal induk lebih dekat ke Israel, dengan mengatakan tindakan tersebut akan melakukan "pembantaian serius" bagi warga di Gaza.
Pemimpin Turki itu memperingatkan bahwa banyak orang akan tewas di Jalur Gaza jika kapal induk Amerika Serikat (AS), Gerald R Ford, yang dikirim ke Mediterania Timur dan ikut berperang bersama Israel. Sementara di tengah-tengah eskalasi konflik terus memanas.
"Apa urusan kapal induk AS ini di Israel? Mengapa kapal induk itu pergi ke sana? Apakah ia akan meluncurkan semua pesawatnya, kapal cepat, mengepung Gaza dan terus menggempurnya, membuka pintu bagi kematian massal yang sangat serius?" ujarnya dalam sebuah konferensi pers dengan Kanselir Austria Karl Nehammer di Ankara.
Erdogan sebelumnya mengatakan bahwa Turki siap menjadi penengah antara Israel dan Palestina untuk memastikan ketenangan. Palestina di masa lalu, menjadi tuan rumah bagi anggota pejuang Hamas, dan mendukung solusi dua negara untuk konflik tersebut, bekerja untuk memperbaiki hubungan dengan Israel setelah bertahun-tahun permusuhan.
Erdogan juga mengatakan bahwa perdamaian di Timur Tengah hanya mungkin terjadi dengan kemerdekaan Palestina, mengacu pada implementasi resolusi PBB tahun 2012 tentang pembentukan negara Palestina yang merdeka di dalam perbatasan tahun 1967.
"Memastikan perdamaian yang berkelanjutan di Timur Tengah hanya mungkin terjadi dengan solusi akhir untuk masalah Palestina. Tidak perlu mengipasi api, perdamaian yang adil tidak ada yang dirugikan, masalah Palestina harus diselesaikan atas dasar hukum internasional dan pengakuan koeksistensi dua negara," ujar Erdogan.
Ia memastikan, Turki akan melakukan upaya diplomatik yang diperlukan untuk mengakhiri konfrontasi dan mengurangi ketegangan. Sayangnya, sebut Erdogan, Yerusalem, yang selama berabad-abad dianggap sebagai tanah perdamaian, telah menjadi simbol ketegangan di mana hak-hak umat Islam dilanggar.
Pada pagi hari tanggal 7 Oktober, serangan roket diluncurkan ke wilayah Israel dari Jalur Gaza. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok militan menyusup ke wilayah Israel.
Pihak berwenang Israel telah menyetujui keputusan yang telah diumumkan sebelumnya untuk menempatkan negara tersebut dalam 'keadaan perang', yang berarti dimulainya operasi militer besar-besaran.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) selanjutnya mengumumkan bahwa mereka meluncurkan Operasi 'Pedang Besi' sebagai pembalasan atas serangan tersebut, yang datang dari daerah kantong Palestina.
Ismail Haniyeh, kepala Biro Politik Hamas saat ini, mengatakan bahwa serangan Palestina tersebut diluncurkan sebagai pembalasan atas tindakan agresif Israel terhadap masjid Al Aqsa di Yerusalem. Dalam situasi seperti ini, Menteri Pertahanan Yoav Gallant telah menyetujui pemanggilan pasukan cadangan.
Menurut laporan terakhir, serangan roket tersebut lebih dari 300an warga Israel tewas dan melukai lebih dari 1.500 lainnya. Sementara serangan Israel di daerah eksklave menyebabkan lebih dari 800an warga Palestina meninggal dunia dan hampir 1.900 lainnya terluka.