REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sedikitnya 29 orang, termasuk wanita dan anak-anak, dikabarkan tewas di Myanmar dalam sebuah serangan artileri di sebuah kamp pengungsi di dekat perbatasan dengan Cina. Menurut sumber-sumber yang ada, tembakan artileri itu dilakukan oleh junta militer yang berkuasa.
Serangan tersebut merupakan salah satu serangan paling mematikan terhadap warga sipil sejak militer mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pemerintah demokrasi Myanmar pada tahun 2021. Kudeta ini berujung konflik dengan gerakan perlawanan dan kelompok-kelompok etnis bersenjata di seluruh negeri.
Pemerintah Persatuan Nasional bayangan (NUG) dan Kedutaan Besar Inggris di Yangon menyalahkan pihak junta militer atas penembakan tersebut. Penembakan diduga terjadi menjelang tengah malam pada Senin (9/10/2023) di Negara Bagian Kachin.
Seorang juru bicara junta menolak tuduhan, dengan mengatakan bahwa militer tidak bertanggung jawab. "Kami sedang menyelidikinya. Kami selalu menjaga situasi perdamaian di perbatasan," kata Zaw Min Tun, seraya menambahkan bahwa ledakan tersebut mungkin melibatkan amunisi kelompok pemberontak etnis.
Sumber-sumber mengatakan artileri menghantam sebuah kamp untuk pengungsi internal sekitar 5 km (3 mil) dari pangkalan di kota Laiza yang dijalankan oleh Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA). KIA merupakan kelompok etnis bersenjata yang telah berkonflik dengan militer Myanmar selama bertahun-tahun.
Sekitar 30 orang terbunuh, menurut berbagai sumber dan media. Seorang juru bicara KIA menyebutnya penembakan artileri itu sebagai "pembantaian terhadap etnis kami", menurut Myanmar Now.
NUG mengutuk apa yang disebutnya sebagai serangan keji terhadap warga sipil dan mengatakan bahwa dunia harus mengadili para jenderal junta militer Myanmar.
"Tindakan dewan militer ini adalah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata juru bicara NUG, Kyaw Zaw. Ia juga menyebut serangan di perbatasan dengan Cina menunjukkan bahwa pihak junta militer tidak menghormati permintaan tetangganya untuk perdamaian dan stabilitas.
Kedutaan Besar Inggris juga menyalahkan junta militer Myanmar atas serangan tersebut. Kedubes Inggris di Myanmar menambahkan bahwa militer "harus menghentikan kampanye perilaku brutal pihak militer terhadap rakyat Myanmar".
"Amerika Serikat "sangat prihatin" dengan laporan-laporan tersebut, kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller dalam sebuah pernyataan.
"Kami mengutuk keras serangan rezim militer yang telah merenggut ribuan nyawa sejak kudeta Februari 2021 dan terus memperburuk krisis kemanusiaan yang paling parah di kawasan itu," kata Miller menambahkan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa mereka yang bertanggung jawab "harus dimintai pertanggungjawaban". Guterres meminta negara-negara tetangga Myanmar untuk menggunakan pengaruh mereka membendung "serangan militer yang semakin meningkat di sana, terus memicu ketidakstabilan regional," menurut seorang juru bicara.
Kementerian Luar Negeri Cina meminta "pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan perselisihan secara damai, ... menghindari eskalasi, dan mengambil langkah-langkah praktis dan efektif untuk memastikan keamanan perbatasan Cina-Myanmar".