REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pasukan Israel terus membombardir Gaza setelah upaya diplomatik untuk mengatur gencatan senjata gagal pada Senin (16/10/2023). Korban jiwa dan luka pun terus bertambah ketika pasukan dan tank Israel sudah berkumpul di perbatasan.
Pihak berwenang di Gaza mengatakan, setidaknya 2.837 orang sejauh ini telah gugur akibat serangan Israel dengan seperempat di antaranya adalah anak-anak. Hampir 10 ribu orang terluka. Sebanyak 1.000 orang lainnya hilang dan diyakini masih berada di bawah reruntuhan.
“Kami berada di dalam rumah ketika kami menemukan mayat berserakan, beterbangan di udara, mayat anak-anak yang tidak ada hubungannya dengan perang,” kata warga Abed Rabayaa yang rumah tetangganya di Khan Younis dihantam serangan semalam.
Pengeboman terus terjadi sepanjang hari dan banyak bangunan rata dengan tanah, sehingga membuat lebih banyak orang terperangkap di bawah reruntuhan. Dengan kekurangan makanan, bahan bakar, dan air, korban jiwa bisa bertambah lagi. Sedangkan ratusan ton bantuan dari beberapa negara tertahan di Mesir sambil menunggu kesepakatan untuk pengiriman yang aman ke Gaza dan evakuasi beberapa pemegang paspor asing melalui perbatasan Rafah.
Di utara Gaza, tempat Israel mengatakan, Hamas bersembunyi di jaringan terowongan. Laporan lain menjatuhkan, pesawat Israel membom daerah sekitar rumah sakit Al-Quds pada Senin pagi. Rumah-rumah rusak, memaksa ratusan orang mengungsi di rumah sakit yang dikelola Bulan Sabit Merah.
Pesawat-pesawat Israel juga mengebom tiga kantor Layanan Darurat Sipil dan Ambulans di Kota Gaza. Tindakan ini membunuh lima orang dan melumpuhkan layanan penyelamatan.
“Saat ini tidak ada gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan di Gaza sebagai imbalan atas keluarnya orang asing," ujar kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah kabar tersebut.
Serangan udara Israel pun terus dilakukan ke wilayah yang terkepung itu. Penduduk Gaza mengatakan, serangan udara pada malam hari adalah yang terberat ketika konflik memasuki hari ke-10. Serangan darat Israel di jalur pantai padat penduduk yang diyakini akan segera terjadi.
Upaya diplomatik telah dilakukan untuk menyalurkan bantuan ke wilayah yang telah mengalami pemboman Israel yang tak henti-hentinya sejak serangan tidak terduga Hamas pada 7 Oktober. Namun juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari mengatakan, tidak ada rencana gencatan senjata di Gaza.
“Kami melanjutkan perjuangan kami melawan Hamas, organisasi pembunuh yang melakukan (serangan) ini," ujar Hagari.
Pejabat Hamas Izzat El Reshiq mengatakan, laporan tentang pembukaan penyeberangan atau gencatan senjata sementara tidak benar.
Israel telah memberlakukan blokade penuh dan sedang mempersiapkan invasi darat untuk memasuki Gaza dan menghancurkan Hamas. Serangan Hamas tidak menyerah, menurut keterangan militer Israel, sirene peringatan berbunyi di beberapa kota di Israel selatan.
Sisi lain, Mesir mengatakan, penyeberangan negara itu dengan Gaza tidak dapat dioperasikan karena pemboman Israel di wilayah Palestina. Para pejabat Amerika Serikat (AS) berharap penyeberangan Rafah dapat dibuka beberapa jam kemudian untuk memungkinkan beberapa orang meninggalkan Gaza sebelum serangan darat Israel.
AS telah memerintahkan warganya di Gaza untuk pergi ke penyeberangan. Laporan tersebut memperkirakan jumlah warga Palestina-Amerika yang memiliki dua kewarganegaraan di Gaza berjumlah 500 hingga 600 orang.
Banyak warga Palestina dan warga asing berbondong-bondong menuju penyeberangan dengan membawa koper dan barang-barang mereka dengan harapan bisa melintasi perbatasan Mesir pada Senin. “Tidak ada keamanan, bahkan ketika Anda berada di persimpangan, Anda merasa takut. Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Ke mana pun kami pergi, selalu ada penembakan, penembakan, tangisan, jeritan, darah," kata Hadeel Abu Dahoud.
Para pejabat AS telah memperingatkan bahwa perang antara Israel dan Hamas dapat meningkat setelah bentrokan lintas batas antara Israel dan Hizbullah Lebanon yang didukung Iran. Ketika Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tiba di Israel untuk melakukan pembicaraan pada Senin, Iran mengatakan Amerika Serikat harus dimintai pertanggungjawaban atas perannya dalam konflik tersebut.