Selasa 24 Oct 2023 07:29 WIB

Solidaritas Indah Warga Khan Younis dan Para Pengungsi di Gaza

Satu juta warga Palestina menjadi pengungsi sejak Israel menyerang Gaza 7 Oktober.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
UNDP menyediakan puluhan bantuan untuk warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza, terlihat di Khan Younis pada Kamis, (19/10/2023).
Foto: AP Photo/Ashraf Amra
UNDP menyediakan puluhan bantuan untuk warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza, terlihat di Khan Younis pada Kamis, (19/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Di trotoar luar rumah Jamil Abu Assi di kota Bani Suhaila di Gaza selatan, sebelah timur Khan Younis, pria berusia 31 tahun dan sepupunya sibuk memasak makanan dalam kuali besar. Abu Assi memang pernah memasak makanan rumahan berdasarkan permintaan orang tetapi setelah serangan udara Israel menghancurkan dapurnya pada 2014 di Jalur Gaza, dia mengubah sikapnya.

Keluarga Abu Assi masih memasak, hanya saja kini secara khusus bertujuan membantu mereka yang menjadi pengungsi akibat serangan dan pengepungan Israel di Gaza. Ini adalah misi yang sedang diuji dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Baca Juga

Menurut PBB, satu juta warga Palestina di Jalur Gaza telah menjadi pengungsi sejak Israel mulai membombardir wilayah tersebut pada 7 Oktober. Total populasi daerah kantong yang diblokade tersebut adalah 2,3 juta jiwa yang artinya setengah warga telah mengungsi.

Banyak dari mereka yang pindah ke wilayah selatan Jalur Gaza menyusul peringatan berulang kali dari militer Israel untuk meninggalkan wilayah utara. Setiap hari, keluarga tersebut memasak 2.000 hidangan untuk memberi makan beberapa orang yang tiba di Khan Younis, sehingga meningkatkan populasi kota di selatan itu menjadi lebih dari setengah juta orang dari sekitar 220 ribu pada 2021.

“Saya memulai pagi saya dengan mencari kayu karena kami tidak memiliki gas untuk memasak,” kata Abu Assi dikutip dari Aljazirah.

Blokade total Israel terhadap pasokan bahan bakar ke Gaza diberlakukan oleh Israel sejak 7 Oktober. Namun terkadang, mengambil kayu itu berisiko juga karena dekat dengan perbatasan Israel.

Tapi Abu Assi terus melakukan misinya. Dia dan sepupunya membagi peran mereka agar lebih efisien. Satu orang bertugas memotong bawang, orang lain bertugas menambahkan bahan dan mengaduk panci, dan orang ketiga bertugas membungkus dan mengemas makanan.

Sebagian besar makanan yang diberikan termasuk nasi, lentil, dan freekeh, sereal yang dibuat dengan memanggang biji-bijian hijau. Daging sebelumnya merupakan makanan pokok tetapi sekarang lebih sulit didapat karena banyak tukang daging yang menutup tokonya setelah dirusak oleh bom Israel dan di tengah kurangnya pasokan.

“Kami berusaha melakukan bagian kami, betapapun kecilnya, dalam meringankan krisis ini bagi masyarakat," ujar pria tersebut.

Kampanye pengeboman Israel yang menghancurkan terjadi setelah serangan mendadak Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. Sebagai balasan, pemboman Israel di Gaza telah meratakan seluruh lingkungan dan membunuh lebih dari 4.600 warga Palestina dalam 16 hari, termasuk 1.873 anak-anak dan 1.023 perempuan.

Tapi, bagi Abu Assi dan warga Palestina di Gaza, wilayah pendudukan Tepi Barat, bahkan Israel, agresi terbaru ini hanyalah pengingat akan sejarah pribadi. Abu Assi adalah pengungsi generasi ketiga yang berasal dari Jaffa, tempat kakek dan neneknya mengungsi pada 1948 selama peristiwa Nakba.

Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir secara paksa dari tanah dan rumah mereka. Sekitar 500 kota dan desa dihancurkan dan ribuan orang terbunuh dalam proses pembersihan etnis yang dilakukan oleh milisi Yahudi dan militer negara Israel yang baru lahir.

“Kakek kami memberi tahu kami bahwa menjadi pengungsi sangatlah sulit, dan kepahitan ini tidak akan pernah terlupakan dan diwariskan ke setiap generasi,” kata Abu Assi mengenang.

“Rasa sakit di hati kami tidak akan pernah membuat kami memaafkan Israel atas apa yang telah dan terus mereka lakukan terhadap kami," ujarnya.

Anak-anak yang terkena dampak perang kali ini tidak akan pernah lupa untuk bertahan hidup tanpa makanan, air atau listrik. Namun di tengah teror dan trauma akibat rudal dan pengepungan, sebuah komunitas telah bersatu.

Beberapa orang telah mendekati keluarga Abu Assi untuk mencari tahu bantuan  yang bisa dilakukan kepada pengungsi Palestina. “Ada solidaritas sosial yang indah di kota Khan Younis,” kata Abu Assi.

“Kami tidak bisa menerima orang-orang kelaparan yang tidak bisa mendapatkan makanan, jadi sudah ada kerja sama organik untuk memastikan inisiatif ini terus berjalan," katanya.

Untuk mengakomodasi kebutuhan makanan dari meningkatnya populasi pengungsi yang ditampung oleh Khan Younis, Abu Assi telah menambah jumlah kompor memasak dan membagi pekerjaan menjadi dua tim. Persiapan makanan dimulai pukul tujuh pagi, dan pemasakan berlangsung hingga pukul 14.00.

“Kami tidak bisa meninggalkan tempat kerja kami, tapi kami menyuruh mereka yang membutuhkan makanan untuk datang dari pukul 14.00 hingga 17.00,” kata Abu Assi.

Beberapa warga secara sukarela mendistribusikan memberikan makanan di mobilnya kepada para pengungsi. Mereka sadar para pengungsi tidak memiliki kendaraan untuk mencapai tempat Abu Assi.

Beberapa keluarga bahkan bersyukur atas hidangan yang didapatkan, bahkan walau hanya sekadar nasi. Karama Musallam, ibu lima anak berusia 40 tahun, sedang mencari makanan ketika dia bertemu dengan keluarga Abu Assi.

Keluarga Musallam, termasuk ibu mertuanya yang berusia 80 tahun, meninggalkan rumah di kota Beit Hanoon di Gaza utara pada awal perang. Mereka tinggal di sekolah UNRWA di Bani Suhaila.

Musallam tidak mengenal siapa pun atau memiliki kerabat di dalam dan sekitar Khan Younis. “Ketika saya keluar untuk mencari makanan, saya menemukan para pemuda ini sedang memasak dan mereka memberi saya dua kali makan agar cukup untuk anak-anak saya,” katanya.

Menurut Musallam, Abu Assi mengundangnya untuk datang setiap hari dan mengambil makanan apa pun yang tersedia. Tawaran tidak terduga ini membuatnya merasa aman berada di tengah masyarakat.

“Kita semua adalah satu komunitas," kata Musallam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement