REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden kembali menyebut Presiden Cina Xi Jinping sebagai diktator. Hal itu disampaikannya sesaat setelah melakukan pertemuan bilateral dengan Xi di sela-sela KTT APEC di San Francisco, Rabu (15/11/2023).
“Setelah hari ini, apakah Anda masih menyebut Presiden Xi sebagai seorang diktator?” tanya seorang reporter kepada Biden di akhir pengarahan pers setelah digelarnya KTT APEC, dikutip laman TIME.
“Dengar, dia (Xi) memang (diktator). Maksud saya, dia adalah seorang diktator dalam artian dia adalah orang yang menjalankan negara komunis berdasarkan bentuk pemerintahan yang sama sekali berbeda dari kita,” ujar Biden menjawab pertanyaan tersebut.
Komentar Biden tersebut dipandang dapat mengubur kembali upaya untuk meredakan ketegangan antara Beijing dan Washington. Pemerintah Cina belum secara resmi menanggapi pernyataan Biden yang menyebut Xi sebagai diktator. Pada Juni lalu, Biden sempat melabeli Xi sebagai diktator. Kala itu Cina segera malayangkan kecaman dan menganggap Biden melakukan provokasi politik terbuka.
Terkait pertemuan bilateral yang baru saja berlangsung di San Francisco, Biden telah menyampaikan bahwa pertemuannya dengan Xi berlangsung positif. Menurut Biden, dia dan Xi melakukan diskusi konstruktif dan produktif. Kedua pemimpin sepakat memulihkan komunikasi militer, bekerja sama dalam mengatasi risiko teknologi kecerdasan buatan, dan mengekang aliran fentanil dari Cina ke AS.
Namun Biden dan Xi juga tak mencapai kesepakatan dalam beberapa isu lain, termasuk soal Taiwan serta tarif dan sanksi yang sedang berlangsung. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina sempat merilis pernyataan pasca berlangsungnya pertemuan antara Xi dan Biden.
Kemenlu Cina mengatakan, selama AS dan Cina saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, dan mengupayakan kerja sama saling menguntungkan, kedua negara akan mampu mengatasi perbedaan mereka. “Penting bagi mereka untuk saling menghargai prinsip dan garis merah satu sama lain, dan menahan diri untuk tidak bertindak gegabah, bersikap provokatif, dan melewati batas,” ungkap Kemenlu Cina.
Terdapat beberapa isu yang mengakibatkan hubungan Cina dan AS dibekap ketegangan. Mereka antara lain terkait Taiwan, klaim maritim di Laut Cina Selatan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang. Perihal Taiwan, Cina sudah berulang kali menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya. Di sisi lain, AS, dalam posisinya yang mengakui prinsip “Satu-Cina”, tetap memberikan dukungan moril dan militer kepada Taiwan. Sikap dan tindakan AS selalu dipandang Beijing sebagai sebuah intervensi.
Terkait Laut Cina Selatan, Beijing diketahui mengklaim sekitar 90 persen wilayah perairan strategis tersebut. Klaim Negeri Tirai Bambu atas Laut Cina Selatan ditentang oleh beberapa negara ASEAN. Dalam persoalan ini, AS turut menolak klaim Cina atas wilayah perairan tersebut dan mendukung posisi ASEAN.
Kemudian perihal Xinjiang, AS telah berulang kali melayangkan tuduhan bahwa terdapat pelanggaran HAM sistematis yang dilakukan Cina terhadap masyarakat Muslim Uighur. Beijing telah berulang kali pula membantah tudingan tersebut.