REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pasukan Israel menangkap sekitar 60 warga Palestina di Tepi Barat, termasuk lima mahasiswi, selama tindakan keras yang berlangsung dari Sabtu (2/12/2023) malam hingga Ahad (3/12/2023) pagi. Penangkapan ini menambah total tahanan menjadi 3.480 sejak 7 Oktober.
“Pasukan pendudukan Israel melakukan penangkapan terhadap sekitar 60 orang dari Tepi Barat dari kemarin malam hingga Ahad pagi, di antaranya 5 wanita muda (mahasiswi) dan individu yang pernah dipenjara sebelumnya. Khususnya, beberapa di antaranya dibebaskan setelahnya," ujar pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Otoritas Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan dan Klub Tahanan Palestina, dilaporkan Anadolu Agency.
Operasi penangkapan terkonsentrasi di Hebron dan Ramallah. Sementara penangkapan tambahan tersebar di Jericho, Jenin, Salfit, dan Bethlehem.
“Kampanye penangkapan ini ditandai dengan meluasnya insiden pelecehan, pemukulan fisik yang parah, ancaman terhadap para tahanan dan keluarga mereka, serta tindakan vandalisme dan perusakan yang luas di rumah-rumah warga," kata pernyataan bersama itu.
Jumlah total penangkapan sejak 7 Oktober kini telah mencapai sekitar 3.480 orang, mencakup orang-orang yang ditangkap di tempat tinggal mereka, di pos pemeriksaan militer, mereka yang menyerah karena paksaan, dan mereka yang disandera. Tentara Israel melakukan serangan ke desa-desa dan kota-kota di seluruh wilayah pendudukan Tepi Barat hampir setiap hari. Serangan ini melibatkan konfrontasi, penangkapan, tembakan, dan penggunaan gas air mata terhadap warga Palestina.
Sejak 7 Oktober, pasukan pendudukan Israel atau pemukim ilegal telah membunuh sedikitnya 63 anak-anak di Tepi Barat, dengan rata-rata lebih dari satu anak setiap hari. Jumlah korban jiwa yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan sembilan bulan pertama tahun 2023.
Selama periode yang sama, PBB telah melaporkan, sekitar 143 keluarga, termasuk 388 anak-anak, terpaksa mengungsi dari rumah mereka di Tepi Barat karena kekerasan yang dilakukan pemukim dan pembatasan akses. Jumlah anak-anak Palestina yang dibunuh di Tepi Barat oleh tentara atau pemukim Israel pada tahun ini naik tiga kali lipat dari jumlah yang terbunuh pada 2022.
“Jika kekerasan tidak diakhiri secara permanen, Save the Children sangat khawatir bahwa korban anak-anak dan warga sipil akan terus meningkat di wilayah pendudukan Palestina,” kata pernyataan Save the Children.
“Meningkatnya kekerasan di Gaza tercermin dari meningkatnya tindakan pengendalian dan kekerasan di Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur, dengan berlanjutnya kerusuhan yang membuat anak-anak putus sekolah, dan membatasi akses mereka terhadap layanan penting, termasuk layanan kesehatan," kata Save the Children.
Anak-anak yang mencoba melintasi pos pemeriksaan di Tepi Barat juga melaporkan ponsel mereka disita dan ditahan di sistem penahanan militer berdasarkan aktivitas media sosial mereka. Hal ini meningkatkan kekhawatiran serius mengenai hak asasi manusia, termasuk seputar kebebasan berekspresi, privasi, dan perampasan kebebasan.
“Meskipun semua mata tertuju pada konflik di Gaza, tidak ada hentinya pembunuhan anak-anak di Tepi Barat, di mana situasinya terus memburuk,” kata Country Director Save the Children, Jason Lee.
“Semakin lama pembunuhan warga sipil di Gaza berlanjut, semakin besar kemungkinan pembunuhan ini akan terus menyebar ke Tepi Barat di mana hak-hak anak-anak sudah dirampas," kata Lee.